Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
Saat Umar menjadi amirul mu'minin, suatu hari ia berjalan dan tak sengaja mengintip suatu jendela. Dilihatnya seorang lelaki tengah minum dan sepertinya mabuk. Sebagaimana yang kita tahu tentang karakter Umar. Beliau mendobrak pintu, merenggut kerah baju lelaki tadi, "Kamu minum di depanku! "
Lelaki itu ngeles, "Perbuatanku satu yang haram, perbuatan harammu tiga."
Umar bereaksi, "Ha! Apa maksudmu?"
Lelaki itu bilang, "Pertama kau intip jendelaku. Kau harusnya menjaga privasi seorang muslim. Tak boleh tajasus. Kedua, kau berasumsi aku minum alkohol. Bagaimana kau tahu? Bisa saja aku minum air putih. Bisa saja aku minum susu. Kau tak boleh berasumsi, tak boleh berprasangka buruk. Kau harus tabayyun. Ketiga, kau masuk rumahku tanpa ijin. Sampai kau dipersilakan masuk, kau tak boleh masuk ke rumah orang tanpa ijin. Perbuatan harammu ada tiga!"
Umar pun meminta maaf, melepaskan lelaki itu, lalu pergi. Ia berlapang dada menerima saran, nasihat dari lelaki tadi. Walau statusnya saat itu adalah kepala negara, amirul mu'minin. Bisa saja Umar berkata, "Pencemaran nama baik! Penghinaan terhadap kepala negara! Aku hukum kau!" Tapi, itu tidak dilakukannya.
Beliau pergi. Beberapa minggu berlalu dan Umar ra memberi khotbah, lelaki itu masuk ke masjid. Orang yang sama dengan malam itu. Umar menutup khotbahnya dan memanggil lelaki tadi dan berbisik padanya, "Aku tak pernah menceritakan tentangmu pada siapa pun. "
Lelaki tersebut menjawab, "Sejak itu, aku berhenti minum."
Masyaallah. Inilah tawashaubil haqq. Tak hanya memberi saran dan nasihat, tapi juga berlapang dada menerima saran serta nasihat bahkan, dari seorang yang tengah mabuk.
Kenapa mereka bisa berlapang dada seperti itu? Karena ada sayang. Umar memberikan nasihat pada sang lelaki tanpa ada maksud apapun. Tanpa ada agenda tersembunyi kecuali karena Umar sayang padanya. Umar tulus marah pada lelaki itu. Umar tulus memberinya nasihat. Dan begitu pun sang lelaki.
Ini berlaku dalam setiap kondisi. Tawashaubil haqq dengan sesama teman, antara suami dan istri, orangtua dan anak, antara atasan dan bawahan, termasuk pemerintah dan rakyat. Bukan hal yang mudah memang, itulah kenapa Allah siapkan pahala.
Sebagaimana kita menanamkan hadist, "Laa tagdob walakal jannah," (Jangan marah dan bagimu surga). Maka kala kita marah dan anak berkata, "Umi/Abi jangan marah. Nanti gak dapet pahala. Kita kan mau masuk surga bareng."
Bisa saja orangtua membalas perkataan anaknya itu:
"Umi/Abi marah karena kamu ga ngedengerin apa kata umi/abi!"
"Ga sopan ya ngomong gitu sama orangtua!"
"Kan kamu yang marah duluan!"
Atau, orangtua bisa bilang, "Iya, maaf tadi umi/abi marah sama kamu. Umi/abi kesal karena kamu berbuat ini dan itu. Makasih ya sudah ingetin umi/abi. Lain kali, ingetin lagi ya." Jangan lupa peluk anak setelahnya.
Mudah untuk ditulis, susah untuk dipraktekkan. Tapi, dampaknya sangat besar. Selain tentu, pahala Allah untuk kita.
Sementara itu, jika merefleksikan ayat ini pada potret negeri kita kini sungguh membuat hati meringis. Rakyat dan pemerintah saling melemparkan kritik. Semua sibuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Tapi, tak ada yang mau mendengar kritik dari pihak lainnya.
Rakyat menyalahkan pemerintah. Pemerintah menyalahkan rakyat. Bisakah kita tawashaubil haqq? Saling menyayangi terlebih dulu. Baru menyampaikan saran untuk orang lain. Sebagai rakyat, saya sayang akan pemerintah. Yang saya pahami, Allah bebankan kewajiban mengurusi semua urusan rakyat di 'pundak' pemerintah. Maka, saya minta pemerintah serius dan tegas dalam memberikan aturan. Apalagi ini berkenaan dengan nyawa rakyat.
Tegaslah dalam peraturan khususnya agar wabah betul-betul reda. Mohon keoptimalan pemerintah dalam menolong para nakes, mohon keseriusan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Agar tak ada lagi rakyat yang harus keluar rumah, bertaruh nyawa atau bisa jadi mengancam nyawa orang karena menyebarkan virus, demi mengais rezeki di masa pandemi ini.
Saya diajarkan untuk put first thing first oleh guru saya. Prioritas. Kita semua belajar prioritas. Pemerintah pun kini harus meletakkan prioritas dengan benar. Karena rakyat kini sedang kesusahan, bukankah sudah seharusnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan mereka dengan dana yang ada? Alokasikan sebagian besar dana untuk rakyat, langsung dalam bentuk yang bisa dikonsumsi oleh rakyat. Awasi dan jamin kualitas kesehatan kehalalannya. Kenapa seolah kita menuntut pemerintah? Karena hanya pemerintah yang bisa mengeluarkan kebijakan ini. Dan pemerintah dulu disumpah untuk mengurusi rakyat, bukan?
Jika pemerintah sudah optimal. Maka, sebagai rakyat, kita pun jangan cuek keluar rumah demi alasan yang tak urgent. Demi konten misalnya.
Saya berdo'a semoga Allah swt menolong kita menerapkan saran tawashi bil haqq yang Indah. Ya Allah, jadikanlah kami orang yang beriman, berbuat baik orang-orang yang tawashi bil haqq, dan tawashi bil shabr. Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google