Oleh: Vega Rahmatika Fahra, SH
Baru baru ini komedian lucu Bintang Emon menjadi sorotan publik. Semua berawal sejak Bintang Emon mengkritik kebijakan pemerintah tentang kasus Novel Baswedan. Kritik itu dilakukan Bintang Emon melalui video berdurasi 1 menit 42 detik yang mengungkap keanehan atas hasil keputusan jaksa yang menyatakan bahwa kasus Novel Baswedan adalah ketidaksengajaan.
Video tersebut berhasil menarik simpati warganet. Banyak yang mengapresiasi keberanian Bintang Emon, mulai dari Najwa Sihab, Ustad Felix dan tokoh publik lainnya. Video yang dikemas dengan "renyah" tersebut semakin banyak menyadarkan masyarakat bahwa hukum hari ini sangat tumpul pada keadilan hingga tagar #GakSengaja trending di jagat dunia maya.
Bintang Emon Ditero
Nyatanya apresiasi pada generasi yang melakukan kritik tidak berlaku. Bukannya diapresiasi, Emon malah diteror oleh para buzzer. Komika ini difitnah bahwa sebagai pecandu sabu-sabu. Akun media sosial Bintang Emon pun diretas oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Lagi dan lagi, nampak jelas cacatnya negeri yang menganut sistem kapitalisme ini. Negeri yang membuat aturan suka-suka namun anti kritik dan minim apresiasi pada yang kritis. Kebebasan berpendapat hanya boleh bagi yang berkepentingan dan menguntungkan rezim, tapi jika merugikan mereka akan mendapatkan masalah.
Ternyata ketakutan rezim hari ini tidak hanya pada aktivis Islam yang dicap radikal, pada komika lucu seperti Bintang Emon pun mereka takut juga akan kekritisannya. Inilah yang menyebabkan generasi di Indonesia tidak pernah maju karena dihambat ketika menyampaikan pendapat. Lalu apa kabar dengan pemuda yang mengumbar kebencian pada Islam dan menistakan agama? Mereka dibebaskan begitu saja bahkan dicap sebagai duta Pancasila.
Sejatinya pemuda itu ibarat bibit unggul. Ia hadir dari perawatan yang baik. Pupuk berkualitas, tanah yang baik, air yang cukup, juga cuaca yang mendukung. Tidak cukup dengan itu, bibit tersebut juga harus mendapat perhatian atau perlakuan yang amat baik. Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka bibit itu akan rusak dan tidak membawa manfaat.
Begitu juga halnya dengan pemuda. Generasi ini juga butuh perawatan intensif untuk menjadi pemuda baik yang mampu menjadi pemimpin yang baik kelak. Perawatan intensif itu berupa penjagaan aqidah, pendidikan yang berkualitas, lingkungan yang baik, pergaulan yang terjaga, ekonomi yang mantap, juga jaminan keamanan dan lain-lain.
Karena sejatinya di sepanjang sejarah perubahan suatu bangsa sangat ditentukan oleh generasi mudanya. Itulah sebabnya rezim hari ini menutup mulut dan mata pemuda dengan berbagai cara agar pemuda hari ini tidak kritis dan dilenakan dengan game dan tik-tok.
Padahal nasib bangsa, negara, dan Islam sangat ditentukan kiprah pemuda era sekarang. Tidak berlebihan kiranya Bung Karno dulu pernah berujar, ”Berikan sepuluh orang pemuda kepadaku, maka akan aku ubah dunia.” Itulah pengakuan jujur sang proklamator tersebut terhadap potensi pemuda dalam mengubah warna dunia ke arah yang lebih baik.
Majunya Negara Tergantung Kualitas Pemuda
Sungguh sangat berbeda cara apresiasi rezim hari ini dengan sistem Islam. Di awal dakwah Islam, pengikut Rasulullah kebanyakan dari kalangan pemuda dan remaja bahkan ada yang masih anak-anak. Diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam. Mereka berdua ketika itu berusia 8 tahun. Thalhah bin Ubaidillah berusia 11 tahun. Al-Arqam bin Abi Al Arqam berusia 12 tahun. Abdullah bin Mas’ud berusia 14 tahun, yang kelak menjadi ahli tafsir yang terkemuka. Sa’ad bin Abi Waqqash berusia 17 tahun, yang kelak menjadi panglima perang yang menundukkan negara super power di zamannya yaitu kerajaan Persia.
Ja’far bin Abi Thalib berusia 18 tahun. Zaid bin Haritsah berusia 20 tahun, Ustman bin Affan berusia 20 tahun, Mus’ab bin Umair berusia 24 tahun, Umar bin Khattab berusia 26 tahun, Abu Ubaidah ibnul Jarah berusia 27 tahun, Bilal bi Rabbah berusia 30 tahun, Abu Salamah berusia 30 tahun, Abu Bakar Ash Siddiq berusia 37 tahun, Hamzah bin Abdil Muthalib berusi 42 tahun, Ubadah bin Al Harist yang paling tua di antara semua shahabat berusia 50 tahun.
Dan masih terdapat puluhan ribu pemuda lain yang terlibat aktivitas dalam dakwah menegakkan panji-panji Islam di masa hidup Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Umumnya mereka adalah pemuda, bahkan remaja yang baru beranjak dewasa. Adalah Usamah bin Zaid, ketika itu berusia 18 tahun, yang diangkat Nabi SAW sebagai panglima perang pasukan Islam ketika menyerbu Syam. Padahal di antara pasukan Islam terdapat shahabat seperti Abu Bakar, Umar bib Khattab yang lebih tua darinya. Begitu juga Abdullah bin Umar, jiwa perjuangan Islam telah memanasi jiwanya sejak usia 13 tahun.
Di sini bisa kita lihat betapa bedanya perlakuan yang diberikan terhadap potensi pemuda. Apakah rezim yang takut kritik dari pemudanya, ataukah sistem paripurna yang begitu menghargai pemuda yang akan kita pilih? Akal sehat dan iman kita tentu mampu memilih mana yang terbaik. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google