Oleh: Liya*
Zaman sekarang semua serba digital. Bayar makanan, minuman, listrik, dan air PDAM tak perlu keluar rumah. Cukup bermodal gawai, semua pesanan bisa beres. Ditambah lagi adanya pandemi mengharuskan manusia menghindari kontak sosial dan fisik. Tak hanya belanja, pembelajaran pun dilaksanakan secara online. Dengan kondisi seperti ini, aktivitas di dunia maya semakin padat. Hal ini tentu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka yang mampu menangkapnya.
Qadarullah, manusia memiliki naluri baqa (mempertahankan diri). Dengan naluri tersebut, apabila tidak dikendalikan oleh akal dan Islam, perilakunya akan menuruti egonya. Apa yang mampu menjadikannya eksis, ia akan memenuhinya. Tanpa berpikir apakah nantinya bermanfaat bagi orang lain atau merugikan bahkan menjerumuskan.
Zamannya memang kapitalisme. Apa itu? Satu masa dimana segala sesuatu diukur dengan materi. Manusia beraktivitas karena dorongan ingin mendapatkan keuntungan (uang). Dengan cara apapun akan dilakukan demi meraihnya, tanpa lagi memedulikan apakah cara yang dilakukan halal ataukah haram.
Berbagai upaya dilakukan kawula muda untuk memperoleh uang. Mereka tak lagi harus bersusah pergi ke sawah membajak tanah, memanen padi atau pekerjaan serupa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, mereka berharap mampu bertahan di dunia ini. Diantaranya melalui upload video di akun youtube, tulisan blog beriklan dan lainnya. Apabila link banyak dikunjungi dan subscribenya mencukupi, dolar pun akan mendatangi.
Akhirnya, mereka berlomba bagaimanana caranya akunnya dikunjungi banyak orang. Tak sedikit yang menggunakan jurus pintas. Seperti memasang berita hoax hanya untuk meraih ribuan klik. Selain itu sering juga banyak ditemukan antara judul dengan isi tak sinkron. Judulnya begitu memukau namun isinya kempes dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan judul. Ada pula ketika kita mengetik di search engine sebuah pengetahuan, begitu di klik munculnya malah iklan. Artinya bloger/youtuber bermaksud menipu netizen.
Selain itu, beberapa akun yang memiliki subscribe sekian juta tak disangka isinya melompong. Maksudnya tidak banyak kebaikan yang dibagikan. Isinya tak lebih dari curhatan, aktivitas harian yang tak memberi manfaat sama sekali. Namun begitu, tayangan seperti ini ditonton jutaan pasang bola mata. Hal yang sama juga terjadi pada akun youtube the king of youtuber yang memiliki lebih dari 15 juta subscriber. Ternyata setelah ditelisik, video unggahannya banyak berita sampah. Ada video bermesraan dengan sang pacar dan video unfaedah lainnya. Mereka tak berfikir apakah kontennya itu bermanfaat ataukah tidak, yang penting disukai banyak kalangan, ditonton banyak orang dan menjadi viral meski faktanya “nyampah”.
Hal ini jangan dianggap sepele, sebab berefek pada generasi pra baligh. Penulis pernah membaca curhatan seorang ibu di medsos. Beliau mengunggah status. “Bunda, aku besok mau jadi youtuber kayak si raja youtube. Enak, terkenal dan bisa kaya”. Bisa jadi tak hanya satu dua anak yang memiliki cita-cita demikian. Mengapa? Karena mereka melihat fakta riil bahwa mereka para youtuber banyak duitnya. Akal mereka belum mampu menjangkau apakah tayangan yang diunggah di akun tersebut memberi manfaat ataukah mudarat. Si anak menganggap uang, tenar adalah puncak dari kenikmatan dan tujuan hidup. Seorang anak yang belum sempurna akalnya, ketika dia melihat sesuatu yang tampak enak, maka ia ingin mendapatkannya.
Dengan kondisi ini, sebuah kekhawatiran penulis. Jika anak didik kehilangan orientasinya untuk belajar. Lalu mereka terobsesi dengan dunia hiburan yang sangat jauh dari peningkatan kualitas SDM negeri ini. Bagaimana dengan nasib bangsa nantinya, jika aktivitas generasinya hanya mengejar ketenaran yang sia-sia dan melenakan? Naudzubillah.
Ancaman itu kian dekat apabila tak segera ditangani. Bayangkan saja jika semua anak negeri aktivitas sehari-hari hanya mengunggah video, menulis curhatan dan meninggalkan belajar sains, tekhnologi, agama dan lainnya hanya demi mendapat subscribe dan jempol. Bisa jadi impian untuk mendapatkan sosok ilmuwan akan sangat langka. Yang ada hanyalah para pelawak, youtuber nyampah, generasi instan.
Lalu, apakah kita harus menjauhi dunia maya? Tentu tidak, akan tetapi kita harus lebih selektif menggerakkan jempol kita untuk nonton, like dan subscribe. Agar jangan sampai akun yang aktivitas utamanya “nyampah” menjadi semakin viral. Selain itu sudah saatnya memenuhi dunia maya dengan konten bermanfaat. Share terus hal yang bermanfaat dan narasi yang mengungkap konten sampah. Harapannya agar masyarakat semakin tercerahkan.
Selain itu kita luruskan kepada generasi milenial bahwa jangan sampai viral dan ketenaran menjadi tujuan. Akan tetapi berlomba-lomba memberi manfaat dalam hal kebaikan adalah hal yang utama. Sebagaimana sabda Rasul "Sebaik-baik manusia adalah yang banyak memberi manfaat kepada sesamanya". Viral dan tenar boleh asal bermanfaat bagi kebaikan ilmu, saintek, agama dan masa depan negeri.
Sejatinya banyaknya unggahan yang sama sekali tidak memberi manfaat disebabkan oleh mundurnya cara berfikir masyarakat. Jika ini dibiarkan, bersiaplah akan meninggalkan jejak para generasi rapuh dan lemah. Mari kita perangi bersama konten dan unggahan yang unfaedah sehingga nantinya generasi yang akan datang adalah generasi yang kuat, tangguh, dan berperadaban tinggi. Masihkah enggan berbagi kebaikan? Mari berfikir sejenak. Sudah saatnya stop membuka, berkomentar dan memposting tulisan dan video sampah demi mencapai kebangkitan Islam. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah pendidik di Bojonegoro
Ilustrasi: Google