Oleh:
Fita Rahmania S. Keb.Bd || Aktivis Fikrul Islam
PEMUDA adalah pemegang tampuk kekuasaan di masa mendatang. Mereka yang akan menjadi pengurus ummat sekaligus penunjuk arah peradaban. Sehingga mempersiapkan bekal mereka sejak dini sangatlah penting. Hal itu yang akan menentukan seperti apa kualitas mereka dalam mengabdikan diri untuk bangsanya.
Wajah pendidikan hari ini merupakan cerminan calon generasi muda. Pendidikan yang mengasah seluruh potensi anak, mulai dari segi intelektual, spiritual, hingga emosionalnya sangat dibutuhkan dalam menghasilkan generasi unggul. Namun sayang, pendidikan sekarang rupanya tak berjalan demikian, yakni sangat kurang dari segi spiriritual dan emosional. Pelajar dibuat apatis, tak peduli dengan lingkungan sekitarnya, sibuk mengurus diri sendiri, alias individualistis. Begitu pula dengan pelajaran agama yang kini disunat habis-habisan, membuat mereka miskin iman.
Sedangkan bagi pelajar yang kritis hanya dibolehkan merdeka dari segi belajar, namun tidak dengan kebebasan beraspirasinya. Seperti dalam kasus demonstrasi yang dilakukan oleh pelajar menolak disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja ternyata mendapat pelarangan dari pihak berwenang. Bahkan kepolisian mengancam tidak akan mengeluarkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang biasa digunakan untuk melamar pekerjaan bagi pelajar yang ikut aksi.
Diketahui, pada (8/10/2020) lalu 3.862 orang ditangkap di berbagai wilayah Indonesia. Mayoritas pelajar, yaitu 1.548 orang dari Sulawesi Selatan, Jakarta, Sumatra Utara, dan Kalimantan Tengah. (cnnindonesia.com, 14/10/2020)
Tentu kebijakan untuk tidak mengeluarkan SKCK adalah kebijakan pragmatis. Kebijakan tersebut terkesan tidak adil dan beruansa otoriter, di tengah negeri yang katanya demokratis. Berbagai pihak pun ramai mengkritisinya. Mulai dari KPAI, Kontras, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga pengamat kepolisian.
Dikutip dari suarajabar.com, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) mengatakan polisi yang menjegal untuk partisipasi anak itu problem, dan menggunakan ancaman agar anak tidak bersuara itu juga jauh lebih problem. Andi menilai upaya yang dilakukan pelajar untuk mengikuti aksi tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Pasalnya, kata dia, setiap anak memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya dan dilindungi oleh Undang-Undang.
Senada dengan itu, Bambang Rukminto sebagai pengamat kepolisian dari Institut for Security Strategic Studies (IseSS) menjelaskan, perlunya kehati-hatian dari kepolisian menangani para pelajar yang ikut demo. Unjuk rasa bukan pelanggaran hukum, melainkan perbuatan legal yang dilindungi undang-undang.
Dengan demikian, negeri ini tak sepatutnya mempermasalahkan aksi demonstrasi yang dimotori oleh pelajar. Toh, di alam demokrasi aspirasi adalah hak setiap warga negara. Atau slogan tersebut hanya sekedar basa basi semata demi mengelabui semua orang untuk tetap setia pada sistem demokrasi?
Para remaja atau pemuda yang berjuang menyuarakan kebenaran harusnya didukung dan diarahkan untuk tidak berbuat kerusakan, bukan malah dibungkam supaya jera. Penguasa tak perlu gusar dikritisi jika memang kebijakan yang dibuat/ diambil sudah sesuai dengan kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyatnya.
Namun, pada kenyataannya kebijakan penguasa sekarang memang perlu dikritik karena berpotensi membahayakan kehidupan rakyat juga negara. Seperti lahirnya UU yang prokapitalis bukan prorakyat, aksi persekusi ulama, juga aktivis Islam. Ide-ide komunisme, islamofobia, dan apa pun yang tak sesuai Islam harus dilawan dan dikoreksi.
Tentu bukan hal yang salah jika generasi muda melakukan aktivitas politik, mengoreksi kebijakan penguasa yang tidak membela kepentingan umat, atau ketika penguasa lalai terhadap tugas utamanya mengurusi kepentingan umat.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim, dan lainnya).*