Oleh: Alga Biru
“Kalau benar Covid-19 itu ganas, kenapa nggak ada orang mati di jalan-jalan, di mall-mall, atau di tempat umum lainnya? Kenapa pasien diduga Covid-19 selalu meninggal di rumah sakit sehingga ada kesan ‘dicovidkan’?”
Begitu kira-kira selintas pikiran yang beredar di tengah masyarakat tentang fenomena covid yang menguarkan aroma konspirasi di benak mereka. “Lebih anehnya lagi, kenapa giliran sudah dekat tahun ajaran baru, tiba-tiba dilaporkan lonjakan kasus Covid-19. Kok ya aneh banget, kenapa nggak dari bulan-bulan lalu aja”.
Pertanyaan kritis tersebut tampaknya semakin menguatkan persepsi dan kebingungan yang memang sudah ada di benak masyarakat kita. Prasangka ini seolah membantah angka statistik 2 juta lebih orang terpapar Covid-19 menurut Kemenkes RI. Kenyataan dan kengerian yang belum sampai menewaskan orang di jalan-jalan tersebut menyiratkan satu hal; Covid-19 tidak nyata.
Maka alangkah sia-sianya nyaris 2 tahun sekolah ditutup demi alasan kesehatan, dan betapa gerah para nakes yang susah-susah memakai alat pelindung diri sepanjang waktu bekerja mereka. Tidakkah terasa janggal di benak kita bagaimana 56 ribu lebih jiwa divonis meninggal dunia akibat virus ini?
Patut diketahui, ada beberapa jenis reaksi orang pada umumnya ketika ditimpa penyakit.
Pertama, orang sakit yang merasa dirinya sakit dan mendapat pertolongan di rumah sakit.
Kedua, orang sakit yang merasa sakit dan/atau mengobati dirinya sendiri (isolasi mandiri).
Ketiga, orang sakit yang tidak menyadari dirinya sakit dan sembuh sendiri sebagai keberuntungan.
Keempat, orang sakit dan terus menerus merasa kesakitan hingga meninggal dunia tanpa diketahui penyakitnya.
Bayangkan orang jenis pertama, maka kelompok inilah yang angkanya memenuhi daftar-daftar dan laporan medis di rumah sakit, lalu laporan itu masuk ke info grafis yang numpang lewat di Facebook kita setiap hari.
Sedangkan kelompok kedua, kemungkinan terdeteksi secara statistik atau bahkan tidak sama sekali kecuali ada pelaporan yang rinci.
Bayangkan tipe orang ketiga, alias penderita tak bergejela yang siang bolong jalan ke mall, malamnya lanjut kongkow ketemuan temen-temen karena merasa dirinya sehat-sehat saja.
Lalu tipe keempat, kelompok paling merana, sebab mereka sakit dan tidak tahu seputar penyakitnya. Paling-paling keluarga menganggapnya sakit demam biasa, diberi obat warung dan karena alasan ekonomi atau kepercayaan, meninggal sebelum sempat mendapat perawatan di rumah sakit. Orang-orang tidak sadar penyakit yang sebenarnya, mereka terpapar, keheranan, tetap tidak percaya, sebagian sakit dan sembuh, sebagian lagi meninggal dengan siklus yang sama.
Lalu gimana dong membuktikan Covid-19 beneran ada atau tidak? Cara gampangnya, lakukan serangkaian tes. Namun seandainya beneran butuh bukti pakai mata dan kepala sendiri, silakan piknik ke wisma atlet, saksikan “rutinitas” orang-orang di sana. Wisma Atlet per 25 Juni 2021 disesaki sekitar 8.414 orang penderita Covid-19 yang dikarantina. Kalau tempatnya kejauhan, boleh datang ke rumah sakit rujukan dan melihat pasien Covid-19 di ruang perawatan. Ruangannya khusus, fasilitasnya eksklusif, alat-alat tertentu sebagai indikator, minimal kita akan tahu ternyata menghirup oksigen itu bayar lewat tabung oksigen yang stoknya semakin menipis.
Masih belum cukup? boleh saja menyambangi pasien covid-19 secar langsung. Kalau perlu, yang masih ada garis keluarga, supaya lebih valid.
Ada laporan unik yang dihimpun oleh CNN Indonesia beberapa waktu lalu. “Direktur RSKD Sulsel, dr Arman Bausat mengatakan ratusan pasien ODGJ yang sempat dinyatakan positif Covid-19 itu sembuh karena mereka secara psikologis tidak memikirkan penyakit yang diderita.”
Kesimpulan apakah yang bisa kita hubung-hubungkan lewat pernyataan tersebut? Apakah artinya penyakit akan hilang ketika tidak dipikirkan? Jika premis itu benar, maka benarlah perilaku sebagian orang yang memilih cuek kepada isu pandemi dan keresahan-keresahan yang diturunkannya.
Pemikiran itu dapat mudah dibantah sebab Covid-19 menyerang siapa saja tanpa pandang bulu, baik mereka yang percaya ataupun tidak, orang yang cuek maupun yang peduli, bahkan orang yang gila saja bisa terpapar. Keganasan atau tidaknya dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari asupan obat-obatan, makanan yang dikonsumsi, penyakit komorbid, paparan lingkungan termasuk di dalamnya reaksi psikologis masing-masing orang.
Lagipula Covid-19 bukan penyakit kejiwaan melainkan virus yang memulai perlekatan di saluran pernapasan dan menyerang sistem pernapasan bagian dalam hingga menurunkan saturasi oksigen ke tingkat yang mengkhawatirkan.
Sejak awal masuknya Covid-19 memang diremehkan di Indonesia, yang bukan hanya dirasakan oleh masyarakan awam tetapi justru dari para pejabat teras sendiri. Tentu kita masih ingat bagaimana Terawan Agus Putranto sempat menyatakan teori perjalanan penyakit ini. Menurut sang menteri, Covid-19 merupakan penyakit yang akan sembuh sendiri.
"Dan saya merasa sangat berbahagia. Bahwa teorinya benar bahwa memang ini adalah self limiting disease yang akan sembuh sendiri. Penyakit yang akan sembuh sendiri," ungkapnya saat jumpa pers di RSUP Persahabatan Jakarta. Pernyataan ini mempengaruhi persepsi dan kesigapan masyarakat untuk mengantisipasi datangnya penyakit, “ngapain susah-susah kalau toh akhirnya sembuh sendiri’, begitu kira-kira.
“Ilmu tanpa agama, buta. Agama tanpa ilmu, lumpuh”. Jangan pernah mendewakan sains, tetapi tegakkan sains seirama dengan spiritual. Pada dasarnya, semua dzat yang terdefinisi mahkluk pastilah punya karakter, tujuan dan kelemahan. Lewat jalan sains, Allah mengajak kita untuk mengenal mahkluk ciptaan tak kasat mata bernama Covid-19. Lewat mahkluk ini kita harusnya sadar, ada sesuatu yang tidak tampak jelas tapi sangat besar pengaruhnya, menginvasi sistem tubuh kita bahkan dapat mematikan dalam hitungan hari.
Setiap insan diciptakan sesuai dengan kehendak Allah, di mana hakikat penciptaannya hanya Allah yang lebih mengetahui. Kita selaku manusia selayaknya membaca tanda, gejala, hikmah serta saling menjaga satu sama lain. Dalam kelemahan kita sabagai manusia, Allah pun mengimbangi mahkluk lainnya dengan kelemahan yang sepadan. Sangat mudah bagi Allah untuk membuat manusia di berbagai dunia hidup dalam kesakitan secara bersamaan, atau dengan kata lain, “pandemi”.
Kita begitu lekat dengan istilah “konspirasi”, lalu mengapa kita lupa bagaimana “rekayasa” Allah meliputi segala sesuatu? Pergunakan masa-masa pandemi dengan banyak melihat ke dalam diri, mengakui kelemahan, memberdayakan potensi tersembunyi, termasuk mengerdilkan ketidaktoleransian kita dalam pergumulan berbagai perspektif. Benar, tidak ada satu kepastian mutlak.
Bayangkan setiap manusia melengkapi satu puzzle kebenaran yang membuat gambaran fenomena ini semakin jelas apa adanya. Just in case, mending jaga-jaga, terapkan protokol yang menjaga diri kita dan orang lain dari penyakit mematikan. Syukur alhamdulillah, kalau kita masih sehat-sehat saja. Di luar sana, banyak orang yang kehilangan anggota keluarga. Kematian itu nyata, bukan angka. Wallahu’alam. (rf/voa-islam.com)