View Full Version
Selasa, 30 Nov 2021

Pembuka Hidayah Jilid 2: Novel Uwa Ajengan (Resensi Buku, Bagian-2)

Saat terbit Peraturan Pemerintah tahu 1958, tanggal 14 Oktober 1958 yang isinya tentang penumpasan DI/TII salah satu isi peraturan tersebut rencana Kodim Siliwangi menerapkan taktik Pagar Betis yang melibatkan peran masyarakat luas. Kembali Fauz Noor membawakan narasi ini dengan apik dan penuh hati-hati, wajar karena merupakan sesuatu yang berat dan sensitif, namun mampu dibawakan oleh Fauz Noor dengan santai dan ringan. 

Terdapat banyak hal yang tidak mungkin terjadi pada masa itu, yakni karamah orang shalih. Fauz Noor mengangkat salah satu kejadian saat Choer Affandi bersama Oyoh Shofiah yang menggendong seorang bayi bersama 3 pengawal TII dikejar-kejar oleh Tentara Soekarno dan tidak ada pilihan lain harus bersembunyi ke salah satu gua yang dikenal dengan gua harimau. Fauz Noor mampu membawakan adegan tersebut dengan menegangkan, setelah Choer Affandi berdoa akhirnya harimau-harimau yang ada di dalam gua keluar sehingga ia bersama Istri, bayi dan 3 pengawalnya bisa bersembunyi di dalam gua. 

Di bagian akhir para anggota DI/TII akan turun gunung, Fauz Noor menggambarkan saat itu keadaan DI/TII sudah sangat lemah, keadaan semakin mencekam, perut keroncongan karena pasokan logistik dari warga terhambat saat diberlakukannya pagar betis. Ada perasaan dari para TII yang ingin kembali hidup normal, kumpul dengan keluarga dan bisa menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Di sinilah Fauz Noor menggambarkan bagaimana Choer Affandi dalam menentukan segala keputusan selalu hati-hati dan selalu meminta pandangan dari gurunya.

Saat berkumpulnya Dewan Imam, Fauz Noor mampu membawakan suasana sakral saat itu dengan bijaksana dengan berbeda pandangan yang terjadi antara bertahan ataupun harus turun gunung. Tentu saat itu sikap SM Kartosuwiryo tetap bertahan sampai mati di gunung, tapi ia pun mempersilakan jika ada yang mau turun gunung. Namun dalam pembahasan Dewan Imam, ada diksi yang mesti diluruskan terkait waktu proklamirkannya DI/TII sebagaimana yang dikenal dalam buku-buku sejarah itu 7 Agustus 1949 namun dalam novel ini tertulis 17 Agustus 1949. Mungkin penulis ada pertimbangan lain.

Setelah ada kabar tertangkapnya pimpinan Darul Islam Indonesia, SM Kartosuwiryo dan beritanya dengan cepat menyebar. Para TII yang berada di hutan-hutan di daerah Bandung, Cianjur, Sumedang dan yang lainnya berbondong-bondong menyerahkan diri. Fauz Noor dengan apik menggambarkan bagaimana saat itu keputusan Choer Affandi untuk turun gunung. Penulis mampu menggambarkan sosok Choer Affandi dalam menentukan segala keputusan layaknya memang seorang ulama yang penuh dengan kehati-hatian.

Choer Affandi digambarkan melaksanakan shalat istikharah terlebih dahulu dan melakukan tirakat. Fauz Noor kembali menyampaikan peristiwa spiritual yang terjadi sebagaimana yang ia angkat di novel pembuka hidayah jilid 1 berhubungan dengan nama Affandi dan sebelum berbaiat kepada SM Kartosuwiryo. 

Dalam novel pembuka hidayah jilid 2. Fauz Noor menyampaikan bagaimana peristiwa spiritual itu terjadi yang tak jauh berbeda ketika Choer Affandi akan naik gunung dua belas tahun yang lalu. Satu tulisan membentuk nama dalam gelar bangsawan Kekhalifahan Turki Utrsmani yang akhirnya ia pakai sebagai nama pribadinya. 

Berkaitan dengan adanya cahaya yang kemudian membentuk rangkaian kata dalam huruf arab : alif, fa, fa, nun, dal dan ya (tanpa titik di bawah), yang jika dibaca menjadi Affandi. Choer Affandi tak mau menafsirkan sendiri, ia menyuruh anak buahnya untuk menyampaikan surat itu kepada guru suluknya yang dahulu dua belas tahun yang lalu menyuruhnya untuk shalat istikharah ketika hendak naik gunung dan bergabung dengan Darul Islam Indonesia. 

Gurunya tiada lain adalah Habib Ali Kwitang Al-Habsyi. Beberapa hari kemudian, anak buahnya kembali dan menyampaikan bahwa cahaya bulan adalah cahaya para ulama yang berasal dari cahaya matahari. Cahaya bulan adalah cahaya ulama yang akan terus menyinari kehidupan umat manusia. 

Ulama Warastul Anbiya

Kurir itu berkata “Choer Affandi adalah seorang UWA, Ulama Warasatul Anbiya.”

Terungkaplah sudah mengapa Choer Affandi disebut Uwa Ajengan, ternyata UWA adalah singkatan dari Ulama Warasatul Anbiya.

Ada hal menarik ketika Choer Affandi akan turun gunung, Fauz Noor menggambarkan Choer Affandi dengan beda penampilan. Choer Affandi digambarkan tidak dengan mengenakan pakaian kemeja dan celana panjang seperti sehari-hari pakaian yang dipakai, tetapi saat akan turun gunung ia mengenakan jubah putih yang biasa dipakai shalat dan memakai ighol (ikat kepala) berwarna putih, dan ia pun memaka tongkat. Ini merupakan isyarat bahwa ia akan menjadi pewaris nabi. Bersambung...


latestnews

View Full Version