Oleh:
Keni Rahayu || Aktivis Dakwah Milenial
MENINGGALNYA mahasiswi di atas pusara sang ayah meninggalkan banyak cerita. Di antaranya adalah para aktivis feminis bergejolak bak pahlawan kesiangan. Bisa ditebak, ujung-ujungnya Permendikbud 30 yang disodorkan. Ujung-ujungnya RUU TPKS minta disahkan. Seolah-olah, tidak ada solusi lain yang layak diperjuangkan.
Sebagai muslim, harusnya kita teliti. Perlu kita telaah lagi apa isi dua instrumen hukum ini. Kekerasan seksual, tentu saja tidak ada yang ingini. Bukan selesai, konsen yang ditawarkan di sini malah menyajikan jalan seks bebas mengurai.
Kan sudah jelas, dalam Islam jangan dekati zina. Allah sudah sampaikan di surat cinta-Nya. Bahwa mendekati saja tidak boleh, apa lagi berzina. Tidak semua pacaran pasti berzina, tapi pacaran bisa menjadi jalan mencapainya. Bukan hanya bisa, tapi sangat bisa. Itulah mengapa pacaran haram. Karena tidak ada aktivitas pacaran yang tidak melanggar syariat pencipta.
Lebih spesifik lagi, dalam kasus mbak NW dan mas R diawali oleh pacaran. Meski memang mbak NW dijebak. Ketulusannya dinodai dengan kebiadaban mas R memberinya obat tidur lalu disetubuhi. Pemberian obat ini dilakukan di penginapan. Pertanyaannya, kalau tidak pacaran, apakah seorang perempuan mau diajak lelaki asing ke penginapan? Sejatinya, inilah hikmah agung di balik syariat haramnya berpacaran.
Allah tahu ke mana arah interaksi dua anak adam berlawan jenis. Lebih-lebih mereka berduaan. Pergi ke hotel. Bercengkrama haha hihi. Apa lagi ending-nya kalau bukan ke arah sana? Allah paham betul bagaimana rasa yang membuncah pada kaum adam. Rasa itu jika difasilitasi dengan pacaran, semakin lama semakin meledak dan butuh pemuasan. Maka sejak awal, Allah telah haramkan pacaran. Pintu gerbang kemaksiatan ditutup. Allah bermaksud menghindari interaksi intim di tahap setelah pacaran tersebut.
Maka wajar jika muslim hari ini menyatakan, "mencegah kekerasan seksual diawali dengan tidak melakukan hubungan intens dengan lawan jenis di luar pernikahan". Termasuk di dalamnya adalah pacaran. Lucunya, para aktivis pro feminis mengatakan, "jika mencegah kekerasan dalam pacaran adalah dengan tidak pacaran, maka mencegah kekerasan rumah tangga adalah dengan tidak melakukan pernikahan". Begitu katanya.
Dengan lantang kukatakan. Ya gak gitu, Bambang! Pacaran itu haram. Menikah itu halal. Jangan samakan yang halal dan yang haram. Kekerasan seksual dalam pernikahan jelas berbeda penanganannya dengan kekerasan seksual dalam pacaran.
Pernikahan menjadi wadah mulia bagi setiap insan dalam menyalurkan kebutuhan nalurinya. Ia bersifat sakral dan agung. Begitulah Allah mensyariatkan pernikahan. Maka jika terjadi penyelewengan dalam hal pernikahan, maka yang perlu dibenahi adalah individunya bukan syariat pernikahannya. Hal ini tidak sama dengan hubungan bernama pacaran.
Pacaran bukan wadah yang diakui Allah bagi manusia merealisasikan nalurinya. Ketika ada dorongan seksual, manusia diharamkan mengambil jalan pacaran. Karena asas pacaran itu rapuh. Komitmen dan kepercayaan dua belah pihak terlalu omong kosong jika dijadikan landasan sebuah hubungan. Maka di sini yang salah ya pacarannya itu sendiri. Sebaik-baik pelaku pacaran, tetap saja tidak mengubah hukum pacaran menjadi halal. Halal haram adalah aturan baku yang mesti dipenuhi seorang muslim.
Lagian, suka banget sih nawar-nawar syariat. Kalau beneran mau mencegah kekerasan seksual, cegah jalan menuju zinanya. Bukan sekadar mencegah zina yang tidak mendapat konsen. Kalau ditelaah, Permendikbud 30 malah membuka lebar jalan pengulangan kisah mbak NW dan mas R. Sebab sejatinya aktivitas seksual difasilitasi atas nama konsen. Jika kemudian terjadi hal yang tidak diinginkan, sudah kepalang basah. Mau nyalahin maling tapi pager rumah gak pernah dikunci. Lha piye to? Wallahu a'lam bishowab.*