Oleh: Jeng Nana
Founder Bakoel Bervisi Surga
Ada yang bilang ramadhan membawa rejeki para bakul. Sebut saja bakul kuker, sembako, takjil, kurma, baju, apalagi bakul lauk matang. Semua tumbuh subur kayak emak yang lagi gagal diet. Semangat melebar di tepi jalan. Bahkan ada yang nekat menghadang para calon konsumen di tengah perempatan lampu merah demi sejumlah cuan. Nah kalau trik yang terakhir ini, angkat topi deh buat pedagang asongan yang full nyali mengejar calon pembeli.
Tak ketinggalan, bakul online pun menuai berkah ramadhan. Dengan etalase cukup bermodal layar ponsel, bakul yang satu ini bebas wara-wiri di setiap kedip mata semua pemilik android. Tanpa harus mandi keringat dan menghirup gas karbon kendaraan calon konsumen. Cukup duduk manis geser layar gawai, tawar-tawar tipis dengan sedikit bumbu manis, jadilah closing dan laris!
Btw, tak semua bakul happy ending mengeruk rupiah di bulan ramadhan. Untuk bakul yang bergelut dengan warung atau depot nasi harus lebih banyak ikhlas dan sabar. Pasalnya jatah makan 3 kali sehari berkurang menjadi 2 kali di bulan ramadhan, membuat konsumen warung makan berkurang. Belum lagi jam makan sahur yang di luar kebiasaan jam buka warung, turut membuat omset pemilik warung turun. Terlebih momen spesial ramadhan yang hanya setahun sekali dengan dorongan pahala bagi yang melakukan kebaikan, menjadikan para emak sadar diri memilih menjadi emak sholihah yang memasak dengan cinta hidangan sahur dan buka untuk keluarga.
Ngomongin tentang turunnya omset para bakul warung nasi, makin kesini makin banyak kalangan yang berupaya menyelamatkan para bakul dari keterpurukan. Apalagi setelah dihantam badai pandemi yang membuat mereka tak menggeliat sama sekali. Demi membuat mereka bisa bangkit, bermunculanlah kebijakan ataupun revisi aturan yang membolehkan warung buka selama bulan ramadhan. Diperkuatlah argumen untuk menyediakan mereka yang tak puasa misal wanita yang lagi haid, orang yang dalam perjalanan dan non muslim yang tentunya butuh makanan di siang hari.
Seolah satu suara dalam satu frekuensi dalih menghormati orang yang tidak puasa dan menolong penghidupan para bakul, jadilah “warung boleh buka asal jangan ngeblak” menjadi satu sikap toleran dan harmoni yang wajib dijaga oleh semua. Warung boleh tetap buka, asal jangan pamer saat makan. Siapa pun yang kemudian berkicau tak elok dan tak searah dengan nafas itu, dianggap intoleran dan mencemari harmoni bermasyarakat.
Oke, sesama bakul, saya pun turut bahagia saat rekan bakul yang lain bahagia karena rejeki berlimpah yang Allah swt kirim melalui larisnya dagangannya. Tentang kebijakan yang membolehkan warung buka pun, selama yang dijual halal syariat juga tidak melarangnya. Namun yang perlu dicermati adalah dalih menghormati orang yang tidak puasa wajib dikritisi.
Jangan-jangan kebijakan yang terang-terangan mengubah larangan warung buka selama bulan ramadhan tahun lalu, menjadi kebolehan warung buka di ramadhan tahun ini merupakan muara tuntutan kaum liberal. Dimana blunder politik yang digulirkan akan mengecam dan mencela siapa saja yang melarang warung buka di siang hari bulan ramadhan. Ujungnya fiqih kebolehan jual beli dibenturkan dengan jargon toleransi dan harmoni bagi yang tidak puasa.
Coba kita bandingkan. Pernahkah ada himbauan atau kebijakan supaya orang yang menjalankan ibadah Nyepi untuk menghormati yang tidak menjalankan Nyepi? Karen ayng lain juga butuh masak, butuh bepergian dan butuh tetap bekerja. Faktanya muslim dan semua agama di luar Hindu harus juga menjalankan ritual Nyepi di Bali dengan mematikan semua aktifitasnya. Melakukan amati geni (tidak menggunakan/menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).
Semua sama sekali tidak melakukan aktivitas, lingkungan tampak sepi seperti kota mati, tidak ada lampu yang menyala dan semua orang diam di rumah. Karena apa? Karena menghormati mereka yang beribadah Nyepi! Coba kalau ada harmoni, harusnya boleh dong nyetel lagu dangdutan saat hari Nyepi di Bali? hehehe bakal ditawur deh kalau ada yang nekat.
Nah, di sini perlunya para bakul juga harus melek politik. Jangan asal pokok menguntungkan, iya-iya aja terhadap setiap kebijakan yang dijalankan. Bakul yang cerdas akan mampu menganalisa bahwa seharusnya penguasa itu menjadi tameng, yang menjaga puasa semua rakyatnya yang sudah ter-taklif hukum puasa untuk bisa menjalankannya dengan sempurna. Memastikan semua yang wajib puasa tidak meninggalkan kewajibannya dibanding mempertimbangkan opini menyesatkan kaum liberal dengan kedok menghormati orang yang tidak puasa.
Sebagai sesama bakul yang mukmin, tentunya kewajiban untuk saling mengingatkan itu harus selalu melekat. Bakul mukmin bedalah dengan yang lain, dia harus lebih aware terhadap syariat agamanya. Karena syariat lah yang akan membuat perniagaannya selamat dunia akhirat. Jangan hanya jadi bakul yang berfikir untung rugi, tapi harus jauh ke depan bervisi akhirat yaitu berfikir halal dan haram.
Apalah artinya laba yang banyak tapi dengan ngeblak-nya warung kita membuat iman saudara kita ikutan ngeblak. Gampang aja batalin puasa gegara ada warung buka pas di depan maal saat dia kepayahan belanja kebutuhan lebaran. Jangan-jangan kita menjadi sarana orang lain untuk berdosa. Naudzubillahi, jangan sampai deh. Seharusnya momen ramadhan menjadi start bagi kita para bakul untuk memperbaiki setiap transaksi perniagaan kita supaya makin benar sesuai tuntutan syariat Islam.
Terlebih lagi penguasa yang kemudian memberi jalan dan ruang bagi rakyat untuk lepas dari ketaatan akibat kebijakan yang berdalih kebebasan, toleransi dan harmoni. Sungguh, semua akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah swt kelak. Atas dasar dan niat apa dia mengeluarkan sebuah kebijakan. Apakah atas dasar syariat Islam atau nafsu kebebasan dan keduniaan semata. Mereka tak akan bisa lari dan berdalih nantinya, seperti saat di dunia. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google