Oleh: Erlina YD
Persaingan dalam dunia pendidikan di Korea Selatan sangatlah ketat. Persaingan ini laksana persaingan mencari kerja. Jika mencari kerja bisa didukung dengan ‘good looking’ agar bisa lolos seleksi kerja, maka dalam dunia pendidikan membutuhkan persyaratan yang lebih berat. Visual seseorang tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan dalam persaingan dunia pendidikan.
Persaingan yang begitu ketat dan sulit membuat banyak orangtua terobsesi agar anaknya mampu lolos masuk universitas terbaik di negaranya. Akibat obsesi yang berlebihan pada kebanyakan orangtua, di Korea Selatan muncul fenomena anak jenius palsu. Obsesi yang muncul karena orangtua mendambakan anaknya masuk universitas bergengsi di dalam maupun di luar negeri.
Dilansir dari www.cnbcindonesia.com (13/05/2022) ada kasus yang tengah menjadi pusat perhatian terkait fenomena anak jenius palsu. Kasus ini terjadi pada putri seorang calon Menteri Kehakiman, Hang Dong-hoon, yang mampu menghasilkan lima makalah akademis dan menerbitkan empat e-book dalam waktu dua bulan saja pada tahun 2021. Padahal anak perempuan tersebut masih berstatus sebagai siswa sekolah menengah. Hal ini menjadi pertanyaan banyak orang, benarkah si anak mampu membuat jurnal itu berkat usahanya sendiri? Atau karena bantuan orangtuanya? Lalu ada berapa banyak siswa yang telah mampu menerbitkan jurnal akademis dan sudah diterbitkan?
Pada tahun sebelumnya juga ada kasus yang hampir mirip yaitu putri seorang salah satu calon menteri di Kore ketahuan sebagai ‘anak jenius’ palsu. Curriculum Vitae (CV) anak tersebut begitu mengesankan dengan deretan prestasi dan kegiatan ekstrakurikuler. Namun belakangan diketahui ternyata keluarganyalah yang memoles sedemikian rupa CV tersebut agar terlihat mengesankan dan luar biasa. Tujuan dari pembuatan CV tersebut tentu demi bisa menembus masuk perguruan tinggi bergengsi.
Anak-anak usia sekolah juga dituntut belajar dengan sangat keras. Jam belajar yang cukup panjang ditambah dengan les tambahan, membuat anak-anak belajar bahkan hingga menjelang tengah malam. Kondisi ini bisa sedikit tergambarkan pada beberapa drama korea semisal pada serial Reply 1988 dan Sky Castle. Persaingan dan ambisi orangtua terhadap anaknya serta tekanan sosial yang tinggi agar anak berprestasi mampu membuat orangtua maupun anak melakukan cara apapun untuk mewujudkannya. Dalam drama tersebut kita juga bisa melihat gambaran nyata sekaligus kritik sosial serta obsesi tidak sehat menggejala di masyarakat Korea terhadap universitas bergengsi.
Bergeser sedikit ke tetangga Korea selatan, yaitu Jepang sebagai sesama negara di Asia Timur, akan ditemui kondisi yang hampir sama. Para pelajar memiliki beban yang sangat tinggi agar sukses dengan meraih nilai tinggi. Tingkat persaingan yang tinggi menimbulkan tingkat stres dan frustasi yang semakin meningkat. Angka bunuh diri anak-anak SD, SMP, dan SMA mencatat angka tertinggi pada tahun 2020 yaitu 499 kasus (www3.nhk.or.jp, 14/06/2021).
Sistem Pembelajaran dalam Islam
Kasus yang terjadi di Korea Selatan dan Jepang tentu hanya sedikit menggambarkan kacaunya sistem pengaturan pendidikan saat ini dalam sistem Kapitalisme. Sistem yang hanya mengejar nilai materi semata tanpa mempertimbangkan sisi manusiawi yang akan merusak fitrah manusia. Mereka rela melakukan berbagai cara bahkan cara terlicik sekalipun agar bisa meraih nilai tinggi dan berhasil masuk perguruan tinggi bergengsi. Jika anak dipaksa terus-menerus dalam persaingan ketat, pasti akan berimbas buruk pada kondisi mental dan psikologis.
Islam memiliki seperangkat pengaturan pendidikan dengan kurikulum yang terintegrasi dengan akidah Islam. Materi pembelajaran akan dibagi sesuai jenjang usia pra baligh dan paskabaligh. Pada usia SD hingga SMP akan lebih dikuatkan penanaman akidah Islam dan hukum syarak dasar agar anak mampu mengemban taklif hukum syarak saat baligh dengan penuh kesadaran tanpa merasa dipaksa. Selain itu wawasan ilmu dan teknologi bebas nilai akan diberikan sehingga anak bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Menginjak usia SMA, bidang keilmuan ditambah lebih luas lagi. Penambahan materi tsaqafah Islam juga ditingkatkan agar siswa semakin mumpuni menyikapi pemikiran asing yang bertentangan dengan Islam.
Pada saat masuk perguruan tinggi, pemikiran-pemikiran asing bisa lebih banyak. Pemikiran asing tersebut diberikan bukan untuk diemban tapi agar bisa dinilai dan ditimbang dengan hukum syarak. Penanaman akidah Islam dan pemberian materi tsaqafah Islam tetap berlanjut karena tujuan pendidikan dalam Islam adalah menjadikan siswa berkepribadian Islam yang memiliki tsaqafah Islam serta cerdas dalam penguasaan ilmu dan teknologi.
Pengaturan waktu belajar akan mengikuti jam salat dan berakhir siang atau sore sesuai dengan jenjang pendidikan. Siswa juga akan diberi hari libur secukupnya untuk sekedar beristirahat dar KBM (kegiatan belajar mengajar) formal. Untuk menguji siswa, ada tim pengajar yang akan menguji kemampuan siswa. Bentuk ujian berupa tulis dan lisan (wawancara) serta praktik sehingga bisa diketahui kemampuan siswa secara nyata dalam memahami atau menyerap materi pembelajaran. Selain itu ketrampilannya dalam menerapkan materi yang sudah diajarkan juga akan diuji. Tidak ada pembatasan waktu bagi siswa yang memiliki kemampuan berbeda. Bisa lebih cepat atau lebih lambar dari standar waktu yang sudah ditentukan.
Dengan sistem ujian seperti di atas, tidak akan ada manipulasi kemampuan pada siswa. Mereka lulus pada setiap jenjang karena memang telah melewati ujian yang sudah diberikan. Sistem pendidikan Islam terbukti mampu menghasilkan ratusan bahkan ribuan ulama yang tidak hanya menguasai satu bidang keilmuan, bahkan mampu menguasai beberapa bidang ilmu sekaligus (‘Polymath’). Hasil karya ilmuwan Islam terserak di berbagai perpustakaan perguruan tinggi di beberapa negara Eropa. Ini menjadi salah satu bukti tak terbantahkan bahwa sistem pendidikan Islam mampu mewarnai dunia dengan hasil karya yang sangat bermanfaat dan menginspirasi bahkan hingga masa kini. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google