Oleh: Maryam Sakinah
Mereka adalah para siswa yang terdiri dari anak-anak berusia 9 dan 10 tahun. Sekitar satu atau dua jam sebelumnya, beberapa anak baru saja mendapat penghargaan. Orang tua mereka hadir untuk menerima sertifikat prestasi dan memberikan pelukan penuh sayang untuk putra-putri kecil mereka.
Kemudian ada para guru berusia 40-an yang penuh dedikasi setia mendampingi. Salah satunya adalah seorang ahli dalam pengajaran anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka telah terbiasa mengajar di kelas empat Robb Elementary School, Uvalde, Texas.
Selasa pagi, 24 Mei 2022, semua berjalan normal bahkan cenderung meriah dengan adanya seremonial pemberian penghargaan kepada siswa berprestasi. Xavier Lopez dan Neveah Bravo dua di antaranya. Namun semua berubah menjadi malapetaka ketika seorang remaja bersenjata menyerbu masuk ke sekolah. Dengan pistol, senapan semi-otomatis AR-15, dan magasin berkapasitas tinggi dia menembaki anak-anak tak berdosa.
Tepat sebelum liburan musim panas, insiden di sekolah itu menewaskan 19 anak dan dua orang guru kelas 4. Satu korban tewas lainnya adalah nenek si pelaku. Nenek ini korban penembakan pertama, sebelum pelaku merangsek ke sekolah.
Insiden di Robb Elementary School Uvalde, Texas ini tentu semakin menambah panjang daftar kasus penembakan di sekolah. Fenomena penembakan massal ini lebih parah terjadi di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh kemudahan bagi setiap orang untuk mendapatkan senjata api dibanding negara lainnya. Ada lebih banyak senjata di Amerika Serikat dibanding negara lain di seluruh dunia. Diperkirakan terdapat 270 juta hingga 310 juta senjata api beredar di pasar Amerika Serikat.
Dengan populasi 319 juta jiwa, artinya setidaknya 1 warga Amerika memiliki satu senjata api. Diperkirakan 4,6 juta anak-anak Amerika tinggal di sebuah rumah di mana setidaknya satu senjata disimpan dan tidak terkunci. Senjata yang tidak disimpan dengan benar ini telah berkontribusi pada penembakan di sekolah, bunuh diri, dan kematian anggota keluarga, termasuk bayi dan balita.
Di Amerika Serikat kepemilikan senjata api dilindungi secara konstitusional. Itulah mengapa pembunuhan massal yang dilakukan dengan senjata api menjadi sangat umum di sana. Dikutip dari sandyhookpromise.org, setiap hari 12 anak meninggal karena kekerasan senjata di Amerika dan 32 lainnya ditembak dan terluka. Senjata adalah penyebab utama kematian anak-anak dan remaja Amerika.
Meskipun telah memakan banyak korban jiwa, kepemilikan senjata di negeri ini masih tetap saja dipertahankan. Klaimnya adalah dengan kepemilikan senjata api akan membuat Amerika Serikat lebih aman. Kepemilikan senjata api bisa membuat warga negara yang Taat Hukum mampu membela diri dari para penjahat bersenjata. Ini sama saja dengan negara tidak memberikan garansi keamanan bagi rakyatnya.
Di sisi lain, industri senjata api tentu tidak ingin kehilangan pangsa pasarnya. Jika tidak menjualnya kepada warga yang negaranya dengan melindungi kepemilikan senjata api secara legal, pada siapa lagi senjata-senjata itu akan dijual?
Jangan lupa bahwa peristiwa serupa pernah terjadi pada tahun 2007 di Virginia Tech yang menewaskan 33 orang mahasiswa. Kemudian di Sandy Hook Elementary School pada tahun 2012 yang menewaskan 26 siswa, lalu peristiwa Uvalde Texas beberapa hari lalu. Semua ini telah menunjukkan secara nyata kepada siapa pemerintah Amerika berpihak.
Walaupun demikian perdebatan mengenai kepemilikan senjata api di Amerika Serikat pun dengan pembatasan kepemilikannya tak pernah berhenti hingga detik ini. Banyaknya kasus yang terjadi sebenarnya merupakan refleksi dari kebuntuan mencari solusi antara aksi kriminal penembakan massal dan kebebasan memiliki senjata. Kebuntuan itu ditambah dengan dijaminnya berbagai kebebasan berperilaku dan berekspresi oleh undang-undang. Tidak usah heran dengan kebijakan aneh mereka karena negara ini menganut sekularisme.
Dampak dari penerapan ideologi ini fatal, masyarakat bisa berbuat sesuka hati menurut kenyamanan dan keinginan mereka sendiri tanpa ada standar hitam dan putih yang baku. Tanpa adanya standarisasi perilaku dari Zat yang menciptakan manusia, maka mustahil terciptanya kedamaian dan kesejahteraan. Tiap orang sah-sah saja berbuat semau gue termasuk membunuh anak-anak sekalipun.
Idealnya, negara mengintegrasikan aturan agama dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak dari sembarang agama. Islam saja jawabannya. Pemberlakuan tata perundang-undangan ini akan berhasil jika dan hanya jika berasal dari Zat Yang Menciptakan manusia, yaitu Allah swt. Karena hanya Allah swt yang paling tahu apa pun bahkan sampai sedetil-detilnya tentang manusia. Apa-apa yang terbaik demi kehidupan dan masa depannya termasuk apa-apa yang terburuk dan tidak boleh dilakukannya. Baik yang dilakukan oleh manusia sebagai individu maupun negara yang menyelenggarakan berbagai kepentingan individu.
Tata perundangan itu adalah syariah Islam. Adapun negara yang menyelenggarakannya adalah khilafah Islamiyah. Garansi aman dan tenteram dijamin oleh Allah di dalam Al Qur’an sebagaimana masyarakat negeri Saba yang bertaqwa.
“Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. (QS. Saba’: 15). Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google