Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku dan Praktisi Pendidikan)
Era teknologi digital yang saat ini tengah kita hadapi, ternyata melahirkan beragam kreativitas di kalangan remaja. Ada yang positif, namun tak sedikit juga yang negatif. Sebagaimana yang pernah viral beberapa waktu lalu, yakni skip challenge, yakni sebuah tantangan menekan dada teman hingga pingsan. Dan belakangan, tren yang tak kalah membahayakan kembali muncul di kalangan remaja, yakni tren cegat truk.
Dalam aksinya, mereka mencegat truk yang sedang melaju kencang. Setelah dekat mereka akan berusaha lari untuk menghindar. Sementara itu, seorang lainnya akan merekam dari sisi jalan. Semua itu dalam rangka mengejar viral di media sosial. Namun, nahasnya tidak semua aksi mereka sesuai harapan. Justru banyak yang meregang nyawa karena terlindas truk saat melakukan aksinya.
Sebagaimana yang terjadi di Jalan Otista Raya, Tangerang, seorang remaja berinisial Y (18) tewas terlindas truk tronton karena mengadang truk secara tiba-tiba demi membuat konten pada Jumat (3/6/2022). Peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 11.30 WIB. (Inews.id/03-06-2022)
Tak hanya itu, pihak Satlantas Polres Metro Tangerang Kota juga mengamankan 14 anak di bawah umur yang berasal dari Sepatan Tangerang karena diduga kerap melakukan aksi membahayakan dengan mencegat truk. Hal serupa juga terjadi di Soreang, Kabupaten Bandung, seorang bocah SMP terlindas truk saat membuat konten cegat truk pada Kamis, 2 Juni 2022.
Sungguh memprihatinkan. Tren cegat truk demi konten tersebut jelas merupakan sebuah perbuatan sia-sia yang bahkan berujung petaka. Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya maraknya aksi tersebut tak bisa dilepaskan dari terkikisnya potensi generasi hari ini.
Potensi Generasi yang Terdistorsi
Sejatinya pemuda adalah tonggak harapan sebuah bangsa. Di tangan pemudalah kelak estafet kepemimpinan bangsa digenggam. Oleh karena itu, kualitas generasi muda harus menjadi perhatian besar. Karena hakikatnya kualitas generasi menentukan wajah peradaban di masa depan.
Lantas, bagaimana nasib bangsa di masa depan jika pemudanya hari ini disibukkan dengan aktivitas tidak bermanfaat yang sekadar mengejar viral demi eksistensi dan kepuasan materi? Padahal generasi harapan bangsa adalah mereka yang memiliki daya kritis dalam berpikir dan berkepribadian unggul. Artinya, pemuda yang kelak mampu membawa bangsa ini menuju kegemilangan peradaban adalah yang memiliki ilmu, ketinggian akhlak dan moral, serta nilai spriritual yang kental. Karena ketiga hal itulah yang akan membentuk kualitas seorang manusia unggul dan berkualitas.
Sayangnya, potensi generasi muda sebagai agent of change kini terdistorsi oleh sistem kapitalisme liberal yang menghegemoni peradaban manusia hari ini. Mindset mereka tak lagi berperan dalam kebaikan dan kemaslahatan negeri, melainkan mengejar eksistensi diri. Doktrin kapitalisme bahwa materi adalah sumber kebahagiaan hakiki dan menjadi terkenal bin viral adalah sebuah prestasi, sungguh nyata telah mengikis potensi generasi hari ini.
Fitrah generasi dibelokkan, tak lagi sibuk melayakkan diri menjadi pribadi prestatif demi membangun negeri, menjadi sekadar mesin-mesin ekonomi penghasil materi. Mereka tenggelam dalam kemajuan teknologi yang menginginkan cara instan meraup materi. Ironisnya, hal tersebut tak diiringi dengan standar halal haram berdasarkan pijakan agama sebagai rambu-rambunya. walhasil, mereka berbuat dalam setiran hawa nafsu dan kesenangan manusiawi belaka.
Kembalikan Fitrah Generasi
Sebagai anggota masyarakat, tentu kita harus peduli terhadap fenomena yang terjadi di kalangan pemuda hari ini. Sebab jika tak segera diatasi, generasi akan kian kehilangan jati diri. Hal tersebut jelas merupakan ancaman nyata di masa depan.
Maka, kita wajib mengembalikan potensi generasi yang hakiki, yakni sebagai agent of change. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menciptakan sekolah pertama bagi generasi di setiap keluarga. Realitasnya banyak generasi muda kehilangan arah karena tak tersentuh pendidikan orang tua di rumahnya. Kedua orang tua disibukkan dengan pekerjaan di luar rumah, termasuk kaum ibu yang notabenenya madrasah pertama bagi anaknya. Akibatnya, muncul fenomena motherless dan fatherless.
Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran akan fungsi dan tugas utamanya, selain mencukupi generasi dengan materi, juga harus membekali mereka dengan ilmu, khususnya ilmu agama. Mereka harus dididik agar mengenal jati dirinya sebagai seorang hamba Allah yang visi hidupnya adalah beribadah kepada-Nya.
Di sisi lain, perlu juga adanya peran negara dalam rangka menerapkan sistem pendidikan yang mampu mencetak generasi muda berkepribadian Islam, bukan generasi yang dibidik demi memenuhi tuntutan industri. Selain itu, negara juga wajib berperan dalam menciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi kehidupan pemuda yang lurus sesuai rambu syariat. Inilah hakikatnya peran strategis negara sebagai benteng terakhir dalam menjaga dan mendayagunakan potensi hakiki generasi. Wallahu'alam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google