Oleh:
Puji Ariyanti || Pegiat Literasi untuk Peradaban
BUKAN suatu kebetulan jika generasi saat ini mengalami degradasi akhlak yang luar biasa. Zina menjadi life style, bahkan zina menjadi pandemi. Kejahatan seksual merajalela, LGBT semakin terbuka. Yang juga masih menjadi PR pemerintah adalah persoalan merundung antar pelajar. Bahkan, baru-baru ini siswa MTS Negeri 1 Kotamobagu, Sulawesi Utara meninggal dunia karena penganiayaan dan perundungan di duga dilakukan teman-temannya di area sekolah dan tidak diketahui oleh pihak sekolah. (Kompas.TV, 17 Juni 2022)
Masih banyak lagi hal-hal yang menjadikan generasi ini jauh dari kata santun sebagai generasi pemegang estafet kepemimpinan. Perundungan yang terjadi di Indonesia sudah masuk kategori serius. Demikian kata Pengamat pendidikan sekaligus dosen Universitas Kristen Krida Pinondang Simanjuntak. Bahkan menurut data PISA bahwa korban perundungan di Indonesia tertinggi kelima di dunia, yakni mencapai angka 41,1%.
Sebenarnya pemerintah tak pernah kehilangan ide dalam menghentikan perilaku buruk para pelajar ini. Namun, cara mereka tidak menyentuh akar. Mereka seolah enggan mengurai. Akar persoalan sesungguhnya adalah sekularisme itu sendiri. Pendidikan berbasis sekularisme yang diterapkan di negeri ini adalah persoalan nyata. Jelas saja generasi muda mengalami krisis identitas, kemerosotan moral bahkan terbatas dalam masalah agama. Moderasi agama, opini radikalisme adalah penyumbang terbesar dalam menjauhkan generasi muda dari kebesaran Tuhannya.
Generasi muda haruslah menjadi generasi khairu umah. Jika ingin mengembalikan mereka menjadi generasi khairu umah pewaris peradaban mulia tentu saja harus menjadikan mereka generasi yang peduli terhadap agamanya survive terhadap setiap persoalan yang di hadapi. Jika demikian, hapus pola pandang milenial dengan bicara moralitas yang absurd. Contoh semua agama sama, pacaran Islami dan lain-lain.
Harusmya mengenalkan dan memahamkan makna amar ma'ruf nahi munkar serta iman kepada Allah adalah syarat mutlak yang dibutuhkan oleh generasi saat ini. Bukan menjadikan amar ma'ruf nahi munkar kata-kata yang hambar bahkan menakutkan di telinga mereka.
Amar makruf nahi munkar serta iman kepada Allah inilah yang di pergunakan untuk mendidik generasi terdahulu dalam menjadikan mereka manusia-manusia terbaik sepanjang peradaban. Sehingga peradaban Islam menjadi peradaban yang memimpin dunia 3,5 abad lamanya.
“Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar…” (TQS At-Taubah [9]: 71)
Bagi umat Islam seharusnya amar makruf nahi mungkar menjadi sebuah kewajiban, sebab syariat Islam memang menempatkannya pada hukum dengan level wajib. Dengan demikian jika amar makruf nahi munkar telah menggema di dada-dada para milenial pastilah kehidupannya akan di penuhi perbaikan diri serta senantiasa mengajak kebaikan kepada sesama manusia.
"Hendaklah kamu beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan benahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)." ( HR. Abu Dzar)
Coba kita tengok teladan yang seharusnya mampu membuat generasi milenial memiliki skill dalam membangun negerinya. Sultan Agung raja jawa naik takhta dalam usia 20 tahun. Atau Sultan Muhammad al-Fatih menjadi sultan saat usianya 21 tahun. Ia merupakan salah satu pahlawan besar umat Islam. Dan masih banyak lagi contoh generasi khairu umah. Mereka adalah tonggak berdirinya peradaban manusia terbaik.
Benar saja, sistem pendidikan berbasis sekuler lah sumber dari kebinasaan manusia. Karena sistem ini mencetak generasi malas menimba ilmu agama. Kurikulumnya mengejar prestasi, sehingga generasi kini kering ruhnya dari kecintaannya kepada Allah, mundur berpikirnya serta rendah akhlaknya.
Hanya syariat yang bisa memuliakan manusia, termasuk aspek pendidikan. Melahirkan generasi muda yang cerdas secara intelektual dan berakhlak mulia. Sesungguhnya generasi terbaik ditopang tiga pilar yakni: keluarga sebagai pendidik akidah, masyarakat yang turut mengontrol perilaku dan negara sebagai penyokong. *