Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
Kasus kekerasan yang dilakukan di lingkungan pesantren belakangan ini marak terjadi. Beberapa waktu lalu, ramai menjadi pemberitaan media tentang seorang santri di Pondok Pesantren Darul Qolam Kabupaten Tangerang tewas di tangan sesama santri. Awalnya saling ejek, berakhir saling pukul. Dan kini kasus serupa kembali terjadi di pesantren, seorang santri tewas dikeroyok oleh 12 orang santri lainnya.
Sebagaimana dilansir oleh tangerangnews.com (27-08-2022) bahwa kejadian pengeroyokan tersebut diawali adanya provokasi dari seorang tersangka yang mengatakan bahwa korban kerap melakukan aksi tak sopan yakni membangunkan kakak seniornya dengan menggunakan kaki.
Sungguh memprihatinkan, di lingkungan pesantren yang notabenenya merupakan lingkungan berbasis agama, malah menjamur aksi kekerasan yang sampai menghilangkan nyawa. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sekularisme Mengikis Fitrah Santri
Setidaknya, berbagai kasus kekerasan yang berujung hilangnya nyawa menjadi bukti bahwa lembaga agama sekalipun tak bisa steril dari aksi kejahatan dan kemaksiatan. Namun, bukan berarti juga kita boleh menggeneralisasi bahwa setiap pesantren pasti demikian, sehingga menganggap bahwa pesantren sama saja dengan lembaga pendidikan lainnya. Tidak, pesantren tetaplah bisa dijadikan tumpuan harapan bagi pendidikan generasi yang memiliki berkepribadian Islam di tengah gersangnya sistem pendidikan hari ini.
Yang harus kita soroti adalah bahwa sekularisme (ide pemisahan agama dari kehidupan) yang dianut negeri ini, telah sangat nyata menyebarkan kerusakan di tengah generasi. Generasi yang terbingkai dalam lingkungan pesantren sekalipun tak luput dari pengaruh sekularisme ini. Santri yang semestinya menampilkan profil generasi berakhlaqul karimah dan beradab, faktanya malah menunjukkan sikap sebaliknya. Hal ini merupakan bukti bahwa iklim sekularisme yang telah menyelimuti negeri ini telah menciptakan individu yang jauh dari adab.
Dilematis, demikianlah sejatinya kondisi kehidupan kaum muslimin hari ini. Ketakwaan individu saja tak cukup menjadi benteng dari perilaku amoral, sebab kita berada di lingkungan kehidupan yang jauh dari ajaran Islam. Pemisahan agama dari kehidupan menjadi sebab terkikisnya fitrah generasi, termasuk para santri.
Kembalikan Fitrah Santri dengan Sistem Islam
Allah telah menciptakan manusia dengan fitrahnya sebagai seorang hamba. Ia memiliki visi kehidupan yang sejak dilahirkan telah ditetapkan oleh Allah, yakni beribadah kepada-Nya. Sebagaimana tertuang dalam firman-Nya surat Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Maka, menancapkan akidah islamiah sejak dini menjadi hal yang wajib adanya bagi para orang tua, agar kelak anak-anak memahami visi sejati kehidupannya. Sejatinya anak terlahir dalam keadaan fitrah, orang tuanya lah yang menentukan kelak dia akan berkepribadian seperti apa. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari Muslim)
Oleh karena itu, orang tua menjadikan pesantren sebagai alternatif pilihan terbaik bagi pendidikan anak di tengah kerusakan sistem kehidupan hari ini. Setidaknya, ketika anak berada di pesantren, mereka akan lebih banyak mendapatkan asupan tsaqofah Islam daripada sekolah umum. Pun lingkungan islami dan kedisliplinan dalam beribadah telah terdesain di dalam pesantren, sehingga memudahkan dalam membentuk habits keislaman di dalam diri mereka.
Namun demikian, rusaknya kehidupan hari ini telah membuat lingkungan pesantren pun tak lagi ideal sebagaimana yang diharapkan. Begitu dahsyat infiltrasi sekularisme liberal ke berbagai lini, termasuk ke dalam pesantren. Akhirnya, fitrah sejati santri terdistorsi. Ini adalah realita yang tak bisa dielakkan.
Oleh karena itu, satu-satunya cara mengembalikan fitrah santri adalah dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Karena sejatinya sistem Islam akan mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang ideal dengan basis aturan Islam secara komprehensif. Sebab sejatinya ketakwaan individu akan mudah rapuh tatkala tidak ditopang oleh kondisi masyarakat yang juga islami dan sistem bernegara yang berbasis Islam. Semuanya saling terhubung, tak bisa dipisahkan. Maka, dibutuhkan kesadaran kita untuk bahu-membahu menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Wallahu'alam bis shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google