Oleh:
KH. Bachtiar Nasir || Ketua Umum DPP Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI)
SALAH satu masalah krusial yang secara tidak langsung menjadi salah satu faktor penyebab makin terbatasnya pasokan pangan adalah keengganan generasi milenial (generasi yang lahir antara tahun 1980-1995) dan Gen Z (generasi yang lahir setelah tahun 1995) menjadi petani. Bahkan, mungkin tidak pernah terlintas oleh Gen Z untuk turun ke sawah, menanam bibit, dan menangani proses penanaman padi; sebagai cita-cita karir mereka.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah petani di Indonesia mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda berusia 20-39 tahun jumlahnya hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang. Kemudian, sekitar 30,4 juta petani atau 91% berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun.
Karakter generasi milenial dan generasi Z ini lekat sekali dengan teknologi digital dan gaya hidup. Sehingga, mereka akan memilih pekerjaaan yang tidak jauh dari teknologi digital dan gaya hidup. Mereka akan memilih pekerja yang dapat mendatangkan kehidupan masa depan mapan.
Mari simak survei World Economic Forum (WEF). Survei WEF pada 2019 disebutkan 33 persen dari 56 ribu responden pemuda berusia 15-35 tahun di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) menunjukkan keinginan yang kuat untuk bekerja di sektor teknologi. Sebanyak 33% responden ingin bekerja untuk perusahaan rintisan (startup) atau mendirikan perusahaan rintisan di masa depan. Angka tersebut menunjukkan peningkatan 2% dibandingkan jumlah responden yang bekerja atau mendirikan perusahaan rintisan saat ini sebesar 31%.
Menjadikan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan menjadi bagian dari cita-cita yang diburu oleh para generasi Z memang tidak mudah, bila tiga sektor utama yang menopang ketahanan pangan ini tidak segera berganti teknologi. Melihat kondisi petani, nelayan, peternak Indonesia yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan dan serangkaian proses kerja yang manual, semakin membuat tiga sektor ini semakin terkubur di bawah alam sadar Gen Z.
Sejatinya, ini adalah tantangan bagi para stakeholder di bidang pangan. Bila minat dan kesadaran untuk menopang tiga sektor utama pangan ini tidak segera dibangkitkan, maka krisis pangan di Indonesia dan negara-negara dunia akan segera terjadi dan permanen. Mau tidak mau, ini akan menjadi kenyataan yang paling mengerikan dalam sejarah manusia.
Baru-baru ini pemerintah melalui Kementerian Pertanian mendorong generasi muda untuk kembali terjun ke sektor pertanian dengan program petani milenial. Program ini mendorong regenerasi tenaga kerja di sektor pertanian untuk meningkatkan inovasi, kreatifitas, dan digitalisasi teknologi pertanian.
Sementara, gambaran kegiatan yang dilakukan dalam program petani milenial yaitu inventarisasi potensi lahan, peluang pasar, penentuan komoditas pertanian, pendataan petani milenial, pengembangan kapasitas, pemberian bantuan benih, bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan, serta pemberian fasilitas pembiayaan dan pemasaran produk. Adapun orang-orang yang bisa bergabung ke dalam program petani milenial adalah ia yang berusia 19-39 tahun dan mengenal inovasi teknologi di bidang pertanian.
Bila program petani milenial ini bisa berjalan secara efektif, maka bisa dipastikan bahwa titik mulai rentang usia petani yang akan semakin awal. Dan, petani yang kini rata-rata telah berusia lanjut akan segera mendapatkan generasi pengganti.
Belajar dari Jepang
Namun, ada yang menarik dari upaya regenerasi petani yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Mungkin sebagian dari langkah yang dilakukan, bisa menjadi inspirasi generasi muda saat ini untuk terjun di dunia pertanian dan kelak mendapatkan karir yang sukses.
Bagi bangsa Jepang, masalah rawan pangan ternyata merupakan masalah yang sama mengkhawatirkan. Dibandingkan faktor iklim global dan geopolitik, faktor sumber daya manusia yang konsen menangani ketersediaan pangan juga cukup memusingkan. Ditambah lagi, dua pertiga area wilayah Jepang adalah daerah pegunungan sehingga sulit untuk dijadikan lahan pertanian.
Langkah besar yang diambil Pemerintah Jepang adalah dengan program smart agriculture. Sejak tahun 2016, Jepang mengembangkan digital farming yang memanfaatkan system teknologi Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), dan Big Data. Serangkaian aplikasi tersebut didedikasikan sebagai inovasi di bidang pertanian. Contohnya system irigasi yang dapat dikendalikan dengan teknologi satellite imaging sehingga dapat memantau penggunaan air, pupuk, dan kondisi tanah secara real time.
Pemanfaatan Artificial Intellegence (AI) juga dianggap sangat bermanfaat untuk mempertahankan kualitas hasil panen. Sistem AI biasanya digunakan untuk memberikan informasi dalam pemilihan bibit yang berkualitas dan pemilihan hasil tani yang siap panen. Sistem AI yang digabungkan dengan IoT dapat meningkatkan teknik fertigation yaitu teknik pengaturan air dan pupuk yang dapat digunakan petani untuk memastikan bahwa komposisi keduanya akan menghasilkan produk tani yang diharapkan. Sehingga petani yang belum berpengalaman pun dapat mengelola lahan dan tanaman produksi dengan efisien.
Di samping itu, Jepang juga gencar melakukan budidaya hidroponik agar dengan keterbatasan lahan yang dimiliki, negara itu tetap bisa memperoleh beras, sayur, dan buah-buahan dalam jumlah yang melimpah. Hidroponik yang menggunakan teknik tanam tanpa tanah bahkan bisa dilakukan di lantau dasar gedung yang minim sinar matahari.
Teknologi pertama yang digunakan dalam system tanam hidroponik tanpa matahari ini adalah teknologi LED (Light Emitting Diodes). LED bisa menggantikan sinar matahari dan bisa membuat tanaman tumbuh dengan cepat. Oleh karena itu, teknologi LED ini bisa menghasilkan panen sayur 100 kali lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan proses tanam biasa.
Teknologi kedua adalah High Pressure Sodium Vapor Lamps sehingga meski cahaya matahari terhitung sedikit, sayur dan padi di Jepang bisa tetap tumbuh subur dan cepat panen.
Teknologi ketiga yang digunakan adalah komputerisasi suplai air untuk tanaman, baik sayur, buah, maupun padi. Selain sebagai pengendali pengairan, sistemisasi komputer juga bertanggung jawab sebagai pengatur cahaya dan temperatur sehingga kondisi yang tercipta di area tanam persis dengan kebun konvensional.
Satu lagi teknologi yang patut diacungi jempol adalah mesin penanam padi otomatis yang disebut dengan rice transplanter. Taiwan dan China juga menggunakan teknologi ini. Sementara Australia Selatan menggunakan pesawat untuk menyemai benih.
Keunggulan dari metode-metode ini adalah bisa menanam padi secara serentak. Rice transplanter digunakan dengan cara meletakkan bibit di tempat yang berada di atas mesin rice transplanter. Sekali gerak, mesin ini bisa membuat empat jalur dengan jarak 30 cm dan bibit 1 ton bisa tersemai dalam waktu 4 jam saja.
Dengan ketersediaan beras yang melimpah meski lahan pertanian terbatas, Pemerintah Jepang gencar mempromosikan beras sebagai makanan utama dibandingkan roti yang berbahan dasar gandum dan diperoleh dengan impor.
Inilah potret kerja keras Pemerintah Jepang untuk menopang ketahanan pangan di negaranya. Tidak bisa dipungkiri, campur tangan pemerintah sangat diperlukan dalam usaha membangun ketahanan pangan di negara mana pun, termasuk di Indonesia. Dibutuhkan pemerintah yang siap memfasilitasi dengan regulasi dan investasi tekonologi; serta sumber daya manusia yang siap dengan kompetensi berbasis teknologi. Hingga nantinya, bisa tercapai target maksimal yang diharapkan.
Sungguh, segala sesuatu dimulai dari niat untuk menghasilkan yang terbaik dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala dan mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bisa memberikan kemaslahatan bagi umat ini. Ketahanan pangan sendiri merupakan rantai panjang yang memerlukan kerjasama antara setiap stakeholder yang ada di setiap mata rantainya, guna memberikan upaya yang terbaik.
Karena, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah riwayat menjawab pertanyaan seorang lelaki yang bertanya, “Perbuatan apa yang terbaik di dalam Islam?” Rasulullah SAW menjawab, “Kamu memberi makan kepada orang lain.” (Riwayat Bukhari dan Muslim ).
Dan, dalam hadits lain disebutkan bahwa sebaik-baik manusia adalah dia yang memberi makanan pada orang lain “Sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah orang yang memberi makan.” (Riwayat Thabrani).
Nah, menjadi petani milenial berbasis teknologi ini adalah peluang karier terbaik untuk menjadi sebaik-baik manusia, bukan?*