Oleh. Najwa Azahra
(Siswi SMA Sekolah Tahfidz Tangerang)
Maraknya kasus penipuan pinjol (pinjaman online) telah menyasar ratusan mahasiswa di negeri ini. Sebagaimana banyak diberitakan di media massa, bahwa terdapat 116 mahasiswa IPB menjadi korban penipuan pinjol berkedok kerja sama antartoko online dengan penjualan barang fiktif.
Kerja sama yang terjadi antarkedua pihak semata-mata sebab adanya tawaran bagi hasil keuntungan sebesar 10% per transaksi. Selanjutnya, mahasiswa diarahkan oleh pelaku untuk membeli barang di toko online milik pelaku, apabila mahasiswa tersebut tidak memiliki uang, maka pelaku akan meminjamkan secara online. Saat uang hasil pinjaman tersebut diterima pelaku, ditambah pelaku pun sebelumnya telah berjanji untuk membayarkan cicilan utang dari pemberian pinjaman tersebut. Namun sayangnya, barang yang dibeli tidak diserahkan kepada pembeli, ditambah pelaku tidak menepati janjinya untuk membayar cicilan hutang, walhasil tenaga penagih melakukan penagihan hutang kepada mahasiswa sebagai pihak yang meminjam uang. (detikcom, Kamis,17/11/22)
Generasi Pragmatis Buah Sistem Kapitalisme
Berdasarkan data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bahwa sebanyak 60% pengguna pinjol adalah anak muda yang berusia 19-24 tahun. Data akurat yang dipaparkan sebelumnya seharusnya menjadi tamparan keras untuk pemuda saat ini. Banyak diantara mereka memiliki jalan berpikir yang pragmatis, menginginkan sesuatu secara instan, tanpa melakukan pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan, padahal keputusan itu menyangkut keluarga dan hidup mereka.
Benar, hidup di era teknologi yang serba canggih, memudahkan setiap lapisan masyarakat dalam mengakses informasi secara cepat. Berbagai platform digital pun terus-menerus mengalami perkembangan.
Terkhusus beredar informasi akan adanya trobosan baru berupa kemudahan dalam meminjam uang yang dilakukan berbasis online semakin menggiurkan berjuta pasang mata yang membaca. Pinjol ini merupakan ajang bagi para pebisnis digital untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Terlebih lagi kita tahu, mereka pun tak segan-segan mengeluarkan persyaratan yang sangat mudah untuk dipenuhi siapapun, yaitu hanya dengan melampirkan KTP, slip gaji, dan terkadang NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan semua syarat itu tidak diberatkan dengan adanya agunan.
Lantas apakah kemudahan dalam pinjaman online ini layak dijadikan sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat? Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa mekanisme pinjaman online ini berujung pada penipuan dan telah banyak memakan korban. Namun yang menjadi pertanyaan lain, apakah hanya karena adanya penipuan masyarakat menjadi jera dan enggan melakukan pinjaman online kembali? Lalu bagaimana dengan mereka yang ternyata merasa diuntungkan karena melakukan pinjaman online sebab berasal dari lembaga yang secara hukum negara sudah mendapat legitimasi?
Hukum Islam Membasmi Problematika Masyarakat
Inilah pentingnya kita menilai suatu kejadian dengan kacamata Islam yang sudah sangat pasti kebenarannya karena bersumber langsung dari Al-Qur’an dan As-sunah. Setiap problematika masyarakat, jika diselesaikan dengan hukum yang bukan berasal dari Allah, maka sampai kapan pun akan tetap semrawut dan tak kunjung usai. Masalah satu belum selesai namun sudah muncul masalah baru yang lebih berat, seperti halnya negeri ini yang menjadikan sistem kapitalisme sebagai tolak ukur kebenaran, maka lihatlah keadaan negeri ini dengan sederet problematika yang kian menggurita.
Akhirnya banyak masyarakat harus menanggung getirnya kehidupan yang jauh dari kata sejahtera. Akibat tuntutan ekonomi yang tinggi, ditambah dengan pemasukan yang tidak memadai untuk bertahan hidup sekalipun, hingga menghalalkan segala cara demi menyambung hidup mereka, salah satu contohnya adalah melakukan transaksi pinjaman online yang sudah sangat jelas terdapat praktik riba di dalamnya.
كل قرض شرط فيه أن يزيده فهو حرام بغير خلاف
”Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan, maka tambahan itu hukumnya haram, tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat di kalangan ulama).” (Ibnu Qudamah, Al Mughnî, Juz IV, hlm. 360)
Walaupun tambahan (bunga) dalam pinjaman online resmi/legal (berlisensi OJK) sebesar hanya 0.8% per hari, tetap tidak mengubah esensi suatu hukum yang secara jelas dan tegas telah mengharamkannya. Allah SWT berfirman,
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah : 275)
Selain riba itu diharamkan, terdapat bahaya atau dharar yang akan dialami oleh peminjam uang, diantaranya ada 3 hal yang menjadi bahaya, pertama adanya intimidasi dan teror saat dilakukan penagihan peminjaman uang. Kedua, adanya penyalahgunaan data pribadi pihak peminjam uang sebagai cara penagihan paksa hutang mereka. Ketiga, adanya bunga yang tinggi untuk setiap pelunasan peminjaman.
Sementara syariat Islam telah mengharamkan perbuatan dharar (bahaya), sebagaimana sabda Rasulullah saw,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
”Tidak boleh menimpakan bahaya bagi diri sendiri (dharar) maupun bahaya bagi orang lain (dhirâr).” (HR Ahmad)
Dengan demikian, solusi tuntas untuk menghapus praktik pinjaman online ini adalah dengan dilakukannya penyadaran secara sistematik kepada masyarakat dengan penguatan akidah serta memahamkan mereka pada syariat Islam atas diharamkannya riba.
Pemuda dan Peran yang Sesungguhnya
Maka, untuk itu sebagai pemuda Islam, sudah saatnya kita angkat pena dan suara, kerahkan segenap potensi yang ada pada diri kita untuk menyebarluaskan Islam di tengah masyarakat. Menyadarkan masyarakat bahwa kita adalah seorang muslim yang mempunyai kewajiban untuk taat kepada setiap hukum-hukum Allah, dan tentunya menyelamatkan mereka dari cengkeraman sistem kapitalisme yang merusak dan menyengsarakan, beralih kepada kerinduan akan diterapkannya sistem Islam di tengah masyarakat yang mampu melindungi, mengayomi, dan mensejahterakan masyarakat seluruhnya. Sungguh, kami rindu Daulah Islam tegak kembali. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google