Bangun Ekoliterasi
Banyak penjelasan mengapa krisis iklim terjadi, diantaranya adalah karena persoalan paradigmatik, politik, hukum, pendidikan, sosial dan budaya. Jika dilihat dari sisi paradigmatik, krisis iklim adalah buah dari hilangnya penghayatan religius manusia terhadap alam. Kitab Suci Al-Qur’an, misalnya, menyebutkan bahwa seluruh entitas di alam ini bertasbih memuji Allah SWT. Pada titik ini, alam dilihat oleh Kitab Suci sebagai entitas sakral. Namun, penghayatan ini telah diganti oleh pandangan antroposentris, yang menyatakan bahwa alam hanyalah komoditas ekonomi yang disediakan untuk memenuhi kepentingan manusia. Dalam wacana Kapitalisme, alam diperlakukan sebagai alat untuk mengakumulasi keuntungan tanpa batas.
Dari sisi politik, krisis iklim terjadi karena sumberdaya alam adalah alat negosiasi para pihak yang akan maju dalam sebuah kontestasi politik praktis. Demi memenangkan suatu ajang pilkada, misalnya, para pihak tak segan memberikan ijon politik berupa konsensi kepada pihak-pihak yang berani memberikan “modal politik”. Jika calon yang didukung tersebut memenangkan pertarungan, maka ijon politik tersebut akan berubah menjadi ijin eksploitasi sumberdaya alam, dalam bentuk proyek pertambangan, perkebunan, properti, dan lain sebagainya. Selama satu periode kepemimpinan, tak sedikit kebijakan yang dikeluarkan untuk melayani kepentingan pemodal untuk mengeruk sumberdaya alam. Itulah fakta yang terjadi di Indonesia.
Dari sisi hukum, krisis iklim terjadi karena lemahnya penegakan hukum, khususnya hukum lingkungan. Padahal, Indonesia saat ini memiliki UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, Indonesia memiliki sejumlah aturan lain yang sangat kuat membela keberlanjutan lingkungan hidup, diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010.
Dari sisi pendidikan, krisis iklim terjadi karena secara umum lembaga pendidikan di Indonesia masih mengabaikan persoalan planet bumi. Baik di lembaga pendidikan agama, maupun pendidikan umum, dua-duanya masih memposisikan Bumi sebagai alat untuk memenuhi kepentingan manusia. Jika di lembaga pendidikan umum, Bumi selalu didefinisikan sebagai objek pembangunan, maka di lembaga pendidikan agama, Bumi didefinisikan sebagai objek untuk konsep ke-khalifahan manusia. Lembaga pendidikan belum mampu membangun kesadaran kritis anak didik terhadap berbagai persoalan krisis di planet bumi.
Dari sisi sosial dan budaya, krisis iklim terjadi karena secara umum masyarakat di Indonesia masih belum memiliki kesadaraan dan kebiasaan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Maraknya pertambangan liar, membuang sampah sembarangan, abai terhadap deforestasi dan kerusakan di kawasan pesisir, juga turut memperparah bangunan krisis yang telah ada.
Pada titik inilah, kita semakin sadar bahwa krisis iklim adalah persoalan yang sangat kompleks. Ada persoaan kebijakan politik di satu sisi, tetapi ada juga persoalan pendidikan dan kebiasaan masyarakat di sisi lain. Untuk dapat memecahkan persoalan ini pada masa-masa yang akan datang, ada satu hal yang dapat kita lakukan saat ini, yaitu membangun gerakan ekoliterasi (Bahasa Inggris: ecoliteracy). Apa itu ekoliterasi? secara kebahasaan, ekoliterasi berasal dari dua kata: eco atau ecology, yang berarti ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia, alam, serta interaksi diantara keduanya; dan literasi (Bahasa Inggris: literacy) adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Daniel Goleman dalam buku Ecological Intelligence (2010), menjelaskan bahwa ekoliterasi adalah suatu gerakan tentang penyadaran kembali akan pentingnya kesinambungan atau kelestarian lingkungan hidup. Orang yang memiliki ekoliterasi diharapkan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang aspek ekologis, baik ekologi manusia dan konsep kesinambungan lingkungan hidup sebagai alat untuk memecahkan masalah, khususnya krisis di planet bumi.
Dalam konteks politik dan hukum, PII harus membangun gerakan ekoliterasi dengan terlibat penuh di dalam berbagai forum perumusan perencanaan pembangunan, mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat desa. Jika keterlibatan di dalam forum perumusan perencanaan pembangunan dirasa berat, maka yang paling minimal adalah mempelajari dokumen-dokumen perencanaan permbangunan mulai dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), sampai dengan dengan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Dalam konteks ini, kita diharapkan memiliki informasi yang utuh mengenai rencana pembangunan Indonesia dari pusat sampai ke desa, khususnya proyek pembangunan yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif.
Di dalam konteks pendidikan, sudah saatnya lembaga pendidikan menyusun satu kurikulum yang mengenalkan mengenai krisis ekologis, krisis iklim, dan dampaknya terhadap bencana di Indonesia. Lebih jauh dari itu, anak didik perlu dibangun perspektif kritis mengenai persoalan di Planet Bumi. Tujuannya, membangun kesadaran berpikir yang bersifat global, sekaligus mendorong mereka untuk bertindak lokal (to think globally, but act locally).
Perlu juga dibangun gerakan sosial dan budaya yang terus menerus mengkampanyekan keberlanjutan lingkungan di tingkat akar rumput. Salah satu hal yang dapat didorong adalah masyarakat perlu memulai gerakan kedaulatan pangan dengan cara membangun gerakan fermakultur atau agroekologi. Kampanye untuk tidak menggunakan plastik kemasan sekali pakai perlu terus ditingkatkan. Secara kultural, kearifan masyarakat yang mengemas makanan dengan menggunakan daun, perlu terus ditingkatkan untuk memiminalisir penggunaan plastik kemasan yang terbukti terus mencemari. Hal lain yang juga penting dilakukan di tingkat masyarakat adalah membudayakan untuk tidak menggunakan kendaraan berbasis bahan bakar fosil, seperti bensin, solar, dan lain sebagainya.
Untuk kebutuhan advokasi kebijakan, pada level sosial dan budaya, perlu dibangun satu konsolidasi strategis yang ditujukan untuk melakukan upaya kritik terhadap berbagai kebijakan publik yang dinilai akan melakukan eksploitasi sumber daya alam, merampas ruang hidup masyarakat, dan tentunya akan merugikan masyarakat pelajar.
Pada level yang lebih dalam, yaitu pada level paradigmatik, kita perlu terus mempelajari dan mengembangkan kajian-kajian ekologis yang ditilik dari tinjauan filsafat, fikih, tasawuf, maupun teologi. Sudah saatnya kita mengkaji pemikiran para penekun kebijaksanaan yang memiliki perhatian dan keprihatinan tehadap krisis ekologis. Di dalam tradisi pemikiran barat, kita harus mulai mempelajari gagasan yang ditulis oleh seorang Environmentalist Norwegia, Arne Naess tentang deep ecology, atau gagasan yang ditulis oleh Fritjof Capra tentang krtitiknya terhadap paradigma Cartesian-Newtonian yang mendorong orang untuk mengeksploitasi alam. Karya lain yang penting dipelajari juga adalah Marx’s Ecology karya John Bellamy Foster.
Di dalam tradisi Islam, gagasan yang dikembangkan oleh Said Nursi di dalam karya Risalah Nur sangat penting dipelajari. Tak hanya itu, karya-karya Seyyed Hossein Nasr, seperti Man and Nature, Islam and the Plight of Modern Man, dan Religion and the Order of Nature, adalah sejumlah karya penting. Selain Nursi dan Nasr, Ulama Fiqh semacam Yusuf Qardhawi juga menulis satu buku khusus mengenai hal ini dengan judul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam. Sebuah karya yang penting dipelajari, khususnya di lembaga-lembaga pesantren.
Ada juga karya-karya pemikir kontemporer. Diantaranya adalah Ibrahim Ozdemir, seorang filosof lingkungan berdarah Turki, dimana penulis pernah berada di bawah bimbingannya saat sedang menyelesaikan Tesis mengenai pemikiran Teologi Lingkungan Said Nursi. Salah satu karyanya yang penting adalah The Ethical Dimension of Human Attitude Towards Nature. Di Indonesia, kita mengenal sosok Fachruddin Mangunjaya, yang banyak bicara mengenai konservasi alam dari perspektif Islam.
Membangun gerakan ekoliterasi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tetapi akan berpengaruh terhadap cara pikir dan perilaku masyarakat dalam jangka panjang, bahkan akan terjadi perubahan kebijakan. Inilah proyek perubahan yang harus menjadi agenda bersama. Sebab jika ekoliterasi telah terbangun dengan kuat, maka masyarakat akan memiliki kesadaran mitigasi dan adaptasi krisis iklim sekaligus bencana yang dapat menyerang kapan saja.
Penutup
Krisis iklim, ibarat bom waktu. Ia bisa meledak kapan saja tanpa diketahui. Untuk mengatasi dampak buruk krisis iklim, kita tidak bisa lagi bertindak seperti pemadam kebakaran, menolong orang dan memberikan donasi kepada korban terdampak krisis iklim. Sudah saatnya kita menyelesaikan persoalan ini dimulai dari hulunya, yaitu menyelesaikan krisis iklim dengan cara membangun gerakan ekoliterasi.
Gerakan ekoliterasi harus menjadi agenda PII untuk masa depan planet bumi. Ia bisa dimulai dari pintu pendidikan yang berlanjut ke pintu sosial-budaya, politik, hukum, bahkan agama. Gerakan ini harus semakin dimasifkan karena krisis iklim dan bencana terus terjadi dengan tingkat keparahan yang semakin tinggi.
Akhirnya, planet bumi akan terus rusak dan bencana akan terus datang menerjang jika kita tidak segera memulai gerakan ekoliterasi dari rumah, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Memahami krisis planet bumi memang butuh pemahaman global yang bersifat komprehensif, tetapi gerakannya harus dimulai dari konteks lokal. Jika bukan kita siapa lagi? Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi? [PurWD/voa-islam.com]
Sumber Tulisan:
Parid Ridwanuddin, _Gerakan Keadilan Iklim,_ rubrik opini harian Republika, Jumat 22 Juli 2022, https://www.republika.id/posts/30153/gerakan-keadilan-iklim
Parid Ridwanuddin, _Tugas Generasi Muda dalam Gerakan Keadilan Iklim,_ website WALHI Nasional, https://www.walhi.or.id/tugas-generasi-muda-dalam-gerakan-keadilan-iklim
Parid Ridwanuddin, _Narasi Keadilan Antargenerasi Bagi Persis,_ Rubrik opini harian Pikiran Rakyat, Jumat, 16 September 2022.
Parid Ridwanuddin, _Bangun Ekoliterasi untuk Hadapi Krisis Iklim dan Bencana,_ https://kotalogy.com/2020/01/20/bangun-ekoliterasi-untuk-hadapi-krisis-iklim-dan-bencana/
sumber-sumber lain yang relevan