Oleh: Tari Ummu Hamzah
Sob, kalian pernah bertanya-tanya ngga sih kenapa generasi masa kini lebih sering healing? Kenapa sih teman-teman Gen Z itu lebih mengedepankan life balance? Maunya mereka itu imbang antara kerjaan/sekolah dengan liburan. Habis lembur lima hari, mereka butuh healing di akhir pekan. Jadi seolah-olah lima hari itu sangat menguras psikis dan mental mereka.
Kondisi ini sedang menggejala lho Sob! Kira-kira apa ya penyebabnya? Ok! Kita bahas dari hal yang paling mendasar dulu. Jadi gini Sob, negara kita ini kan menganut sistem kapitalisme. Dimana dalam sistem ini agama itu disingkirkan dari tatanan kehidupan. Jadi kalau agama tidak dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari maka tidak ada sikap taqwa dan kesadaran akan hubungan manusia dengan Tuhan.
Apa akibatnya? Nah! Akibatnya manusia itu bersikap Antroposentris, yaitu manusia sebagai pusatnya. Maksudnya, manusia itu sendiri berhak menentukan dia mau jadi apa, dia mau apa, dia mau kemana. Bahkan dia juga berhak menentukan ekspektasi, standart dalam kehidupannya, gaya hidup, kecantikan, pendidikan. Pokoknya jadi bebas lah!
Mirisnya ekspektasi-ekspektasi yang dibuat manusia, kadang ngga sesuai sama realita yang ada. Banyak yang mengharapkan kebahagiaan versi dia, dapatnya malah kekecewaan. Kondisi ini makin diperparah dengan sikap-sikap hedon yang ditunjukkan di media sosial. Nah, hedonisme ini malah menumbuhkan sikap berangan-angan bagi orang yang tidak mampu.
Parahnya angan-angannya setinggi langit tapi lupa cara buat mengantisipasi kalau-kalau mereka jatuh. So, saat realita itu ngga sesuai sama keinginan mereka, mereka gampang stres. Ada yang mengalami gangguan kecemasan, frustasi, bahkan sampai depresi. Puncaknya jika penyakit-penyakit mental itu ngga tertangani, orang bisa nekat untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Nah! Sekarang udah tahu kan kenapa orang-orang itu suka healing. Karena mereka ingin menjaga kesehatan mentalnya. Karena dalam dunia orang-orang yang sekuler, kesehatan mental itu menjadi isu yang utama. Mereka belum paham-paham juga tuh akar masalah dari munculnya berbagai kesehatan mental.
Ini masih belum seberapa Sob. Di negara-negara maju, kayak Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea, yang negaranya itu sangat kental dengan sekulerisme, angka bunuh diri disana itu tinggi banget. Padahal mereka itu negara maju. Punya akses ilmu dan teknologi yang lebih mudah daripada negara berkembang. Tapi masyarakat mengalami kehidupan yang jauh dari kata bahagia. Yang ada mereka terus mencari pelarian dari rasa stress mereka.
Tapi timbul pertanyaan. Apa sih yang melatar belakangi kondisi di atas? Mengapa sekulerisme menjadi biang keroknya? Lalu seperti apa sih! solusi dalam Islam ?
Dalam ajaran Islam, para pemeluknya tidak boleh dibiarkan bertingkah laku bebas sesuai dengan kehendaknya. Islam tidak menjadikan manusia itu sebagai pusat penentu kehendak mereka. Ada yang namanya konsep kesadaran atas hubungan manusia dengan sang pencipta. Kesadaran ini dibangun atas dasar keimanan kepada Allah. Nah, konsekuensi dari keimanan itu harus terikat dengan seperangkat aturan-aturan, sehingga ada keterlibatan Tuhan dalam aktivitas manusia.
Di sisi lain manusia itu sendiri memiliki naluri beragam. Naluri untuk mengagungkan sesuatu yang jauh lebih besar dari manusia. Artinya pada dasarnya manusia butuh Tuhan dalam hidupnya. Butuh tempat untuk memasrahkan urusannya, butuh sandaran agar tetap kuat selama hidup di dunia.
Jika naluri ini dicoba untuk dihilangkan, yang terjadi terkana gangguan kecemasan, mental break down, mental illnes, dll. So, sebagai generasi muslim masa kini, kita harus berhati-hati dalam mencari circle pertemanan. Karena siapanyeman kita menentukan keimanan kita.
So, jangan sampai kita jauh-jauh dari Islam ya Sob. Sebab menghadirkan Allah di setiap kehidupan kita, berarti telah memberi asupan akan keimanan dan naluri beragama. Di sisi lain aturan Islam akan menyelamatkan kita baik di dunia atau di akhirat. Jadi mengambil hujah syariat ini juga harus berlandaskan keimanan bukan manfaat semata. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google