Oleh: R. Raraswati
Siapa yang tak ingin popular? Di era digital sekarang ini banyak orang gila popularitas hingga melakukan banyak cara untuk meraihnya. Membuat konten yang bermanfaat hingga sekadar lucu-lucuan unfaedah bahkan justru cenderung merusak pun dilakukan demi popularitas. Anehnya, justru hal-hal yang tidak bermanfaat itu menjadi viral. Maka, wajar jika orang membuat konten aneh, bahkan berdampak negative, asalkan viral, popular, dan merasa bahagia. Begitu pentingnya popularitas bagi seseorang, hingga tidak lagi memikirkan dampak negatifnya.
Kondisi demikian ini mengingatkan pada sebuah ungkapan, “Kalau sekadar ingin populer, kencingilah sumur zam-zam.” Maknanya, jika ingin sekadar terkenal, berbuatlah sesuatu yang buruk. Ya, terkadang popularitas yang diraih seseorang tidak berbanding lurus dengan prestasinya. Apalagi sekarang, kemudahan informasi digital membuat seseorang berlomba mendapat popularitas. Seseorang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan ribuan followers, pujian, hingga terkadang nekat berbuat tercela. Seseorang bisa tidak peduli baik atau buruknya dampak konten media sosialnya. Namun ternyata, popularitas tidak serta merta membuat seseorang bahagia.
Jika ditelusuri, beberapa figur publik maupun selebritas depresi, merasa terkekang oleh image yang dibangun sendiri, bahkan nekat mengakhiri hidup karena tidak sanggup dengan hinaan orang lain termasuk di dunia maya sekalipun. Ya, popularitas memang bisa mengantarkan seseorang sukses meraup cuan berlimpah. Namun, popularitas yang tidak disikapi dengan bijak justru menjadi bumerang bahkan petaka bagi diri sendiri dan orang lain. Lalu salahkah orang meraih popularitas?
Sejatinya wajar orang mencari popularitas, karena Allah memang memberikan setiap manusia naluri baqa’, ingin diperhatikan. Karenanya popularitas bisa digunakan untuk menunjukkan eksistensi diri sebagai wujud naluri tersebut. Namun, cara masing-masing orang berbeda satu dengan lainnya.
Ada yang mencari popularitas dengan menunjukkan prestasi pada bidang ilmu tertentu, jabatan, dan sebagainya. Hanya saja ada juga yang meraih popularitas dengan cara yang aneh, konyol, bodoh, atau bahkan membahayakan. Mirisnya, justru orang yang melakukan hal konyol, gila, ekstrem mendapatkan perhatian lebih karena dianggap unik, lucu, juga menghibur. Sedangkan orang-orang yang memiliki prestasi justru dianggap biasa dan tak dipedulikan.
Tak jarang demi popularitas, orang bikin konten tanpa etika, norma, juga rasa malu. Demi mendapat like, followers, shares, dan subscribers, orang rela berpikir waras. Padahal, ketika itu semua didapatkan, hanya akan mengalami kesenangan dunia yang sementara. Kepuasan atas penilaian manusia terhadap eksistensi diri. Inilah kondisi generasi Indonesia sekarang.
Arti Popularitas
Popularitas yang awalnya begitu berarti bagi pelakunya, bisa saja berubah menjadi penjara yang mengekang kemerdekaan diri. Menjadi popular justru membuat tidak ada ruang privat karena setiap perbuatan dan perkataannya diperhatikan masyarakat. Ibarat semut yang berusaha menikmati genangan madu, tapi justru tenggelam pada lengketnya madu tersebut. Kalau sudah seperti itu, apa arti polularitas?
Ya, arti popularitas bagi generasi tak lebih dari untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensinya. Padahal, itu justru bisa menenggelamkan diri pada penilaian manusia yang bersifat sementara. Masyarakat pun sering tidak sadar telah kecanduan dengan goyang tik tok dan semisalnya yang pada akhirnya mengikis kehormatan diri.
Namun demikian, teknologi dalam media sosial tidak bisa disalahkan. Justru perilaku penggunanya yang bermasalah dalam memanfaatkan teknologi. Jika media sosial digunakan untuk kebaikan seperti sharing ilmu, keagamaan, kesehatan dan sebagainya, pasti selain meraih popularitas juga bisa bermanfaat dan memungkinkan pahalanya mengalir terus. Terlebih sebagai seorang muslim yang berusaha mencari bekal akhirat dengan memikirkan apa yang bisa terus mengalirkan pahala saat telah menghadap Allah.
Tujuan Hidup
Sebagai seorang muslim tentu tidak menganggap popularitas sebagai tujuan hidup. Bahkan Al Ghazali ra. pernah menyampaikan bahwa, “Hal yang tercela adalah jika seseorang mencari ketenaran/popularitas." Maka, perbuatan tercela harus dihindari oleh kaum muslimin. Menjadi terkenal ataupun tidak merupakan ujian hidup dari Allah Swt. Begitu pula dengan kekayaan, harta melimpah, jabatan dan kekuasaan merupakan ujian yang harus disikapi dengan bijak.
Di sinilah pentingnya memahami tujuan hidup manusia. Pada dasarnya Allah telah menyampaikan tujuan menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Az Zariyat ayat 56 yang artinya “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Ayat tersebut jelas tujuan Allah menciptakan manusia untuk beribadah. Maka sudah semestinya manusia meniatkan segala aktivitasnya untuk beribadah pada Allah SWT dan meraih rida-Nya. Ketika Allah rida, maka kehidupan akan terasa bahagia, meski mungkin penuh dengan kesederhanaan, tanpa pujian apalagi viral di dunia maya.
Sebaliknya, kehidupan yang penuh popularitas tetapi Allah tidak rida, justru membuat seseorang gelisah, tidak tenang, bahkan hidupnya penuh kepalsuan. Bahagia yang diraih hanya sementara dan bisa jadi dalam hatinya sesungguhnya menderita.
Jadikan kebahagiaan akhirat sebagai harapan hidup, karena dunia ini adalah tempat untuk mencari bekal kehidupan abadi nanti. Popularitas bukanlah prestasi yang harus dikejar. Sejatinya prestasi bisa manusia raih tanpa harus popular.
Sebagaimana dicontohkan Bilal bin Rabah, sebelumnya adalah budak berkulit hitam yang istikamah beramal dengan Ikhlas meski harus mengalami siksaan oleh kafir Quraisy. Ia tidak dikenal banyak orang, namun Rasulullah menyampaikan bahwa terompah Bilal terdengar hingga di surga. Maka dari itu, fokuslah mencapai tujuan hidup sebagaimana Allah harapkan, insya Allah popularitas itu akan didapatkan atas rida-Nya. Allahu a’lam bish showab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google