Oleh: Aily Natasya
Dari tirto.id, ZARA, brand ritel pakaian ini menghadapi kecaman publik usai merilis kampanye iklan terbarunya. Kampanye iklan tersebut menampilkan gambaran kontroversial yang menyerupai gambaran genosida di Gaza, Palestina. Ilustrasi mayat-mayat yang dibungkus dengan kantong mayat berwarna putih tampil dengan mencolok.
Iklan tersebut juga mengilustrasikan batu reruntuhan, dan potongan kardus yang mirip dengan peta Palestina yang terbalik. Visualisasi tersebut terlalu mirip dengan kondisi yang sedang terjadi di Gaza saat ini. Setelah itu, banyak sekali warganet yang beramai-ramai membagikan ini dan mengajak semua orang untuk sama-sama memboikot brand ZARA.
Brand tersebut memberikan klarifikasinya. Mereka menyatakan tidak tahu bahwa iklannya menyinggung banyak sekali orang berkaitan dengan konflik yang sedang terjadi. Katanya tidak ada niatan sama sekali untuk menyinggung isu yang dimaksud (genosida di Gaza). Namun bukannya meredakan amarah warganet, klarifikasi tersebut malah mengundang lebih banyak kecaman. Setelah semua yang terjadi, tidak ada kata maaf di klarifikasi tersebut. Zara seakan-akan mengatakan bahwa brand-nya tidak salah, dan reaksi orang-orang berlebihan.
Sisi gelap ZARA dan fast fashion
Selain alasan Palestina, ZARA juga menuai banyak sekali kontroversi. Selain dalam hal politik, brand ini juga bermasalah dalam hal lingkungan. Dari dulu sekali, sudah banyak bertebaran kampanye, artikel, dan pembahasan tentang bagaimana ZARA merusak bumi. Memangnya ada apa?
ZARA, adalah produk jenama yang memproduksi pakaian secara massal atau yang sering kita sebut dengan fast fashion. Fast fashion ini tidak hanya memproduksi secara massal, namun juga secara cepat. Perusahaan fast fashion seperti ZARA menekan harga produksi dengan memindahkan pabrik ke negara-negara berkembang yang juga dikenal sebagai praktik sweatshop.
Sweatshop sendiri terkenal akan keamanan kerjanya yang tidak terjamin, durasi kerjanya lama dan banyak, namun gajinya sangat kecil, berbanding jauh dengan tenaga yang diberikan. Hak pekerja tidak terpenuhi, namun tekanan terus ditumpuk.
Selain permasalahan internal, fast fashion juga memiliki masalah soal lingkungan karena bahan dasar yang dipakainya banyak yang merusak lingkungan. Dari jurno.id, industri fast fashion menyumbang 10% emisi karbon global dan menyumbang 500.000 ton microfiber ke laut. Lanjut lagi, ada 92 juta sampah tekstil yang terbuang di setiap tahunnya alias setara dengan 20% sampah global. Mayoritas pakaian ini dibuang di Dunia Selatan, salah duanya di Kenya dan Tanzania.
Mengapa tidak didaur ulang saja? Jawabannya adalah tidak bisa. Produk fast fashion ini menggunakan polyester yang terbuat dari minyak bumi dan pakain-pakaian ini pun sudah tercampur dengan berbagai macam pewarna (yang juga terbuat dari turunan minyak bumi). Pemborosan emisi, pengeksploitasian buruh, dan produk dijual dengan harga yang kelewat tinggi. Dosanya... berat banget, kan? Kalau kata pejuang sustainable fashion, baju-baju yang kita beli di pasar fast fashion itu bau darah.
Sesuai dengan kekejaman-kekejamannya, memboikot ZARA menjadi langkah yang sangat tepat. Mungkin memboikot adalah langkah yang ringan. Namun akan sangat berdampak pada mereka jika aksi boikot ini dijalankan secara massal dan terus menerus. Karena sesungguhnya, selain brand ZARA, masih banyak brand kapitalis lainnya yang berkeliaran di dunia demokrasi ini.
Brand kapitalis semacam brand ZARA tidak akan sepenuhnya musnah. Ia akan terus ada dan berkembang. Kondisi ini tidak akan berubah selama yang dipakai adalah sistem yang memang melanggengkan brand kapitalis seperti ini. Tak peduli etika, lingkungan atau kesejahteraan pekerja. Sangat khas kapitalis.
Oleh karena itu, perubahan sistem itu penting bila kita ingin dunia menjadi lebih baik. Kkarena sistem yang kita jalankan akan membentuk seperti apa dunia kita, sesuai dengan sistem yang kita jalankan. Jika sistemnya buatan manusia, sudah terbukti banyak sekali cacatnya. Lantas, maukah kita mencoba sistem yang Allah buat? Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google