View Full Version
Sabtu, 02 Mar 2024

Toxic Masculinity: Laki-laki, Kok Nangis

 

Oleh: Aily Natasya

Menurut catatan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2016, kira-kira ada 793.000 kematian akibat bunuh diri dari seluruh dunia, dan sebagian besarnya didominasi oleh laki-laki. Apa masalahnya? Well, sebagian besar masalahnya adalah karena tekanan.

Di masyarakat kita, ada sebuah stigma yang sangat melekat bagi laki-laki, yaitu kuat. Kuat di sini artinya tidak hanya kuat secara fisik, namun juga mental. Sehingga, sering kali, laki-laki akan dianggap lemah jika mereka mengeluh atau menangis. Istilah yang tepat untuk definisinya adalah toxic masculinity. Padahal laki-laki juga hanya seorang manusia yang memiliki perasaan sedih dan bahagia. Dan mereka memiliki hak penuh untuk mengekspresikannya.

Tak hanya itu, stigma tersebut juga menimbulkan banyak dampak negatif akibat pemendaman emosi, seperti rasa cemas yang berlebihan, dan depresi. Dan tentu saja tidak hanya terdampak secara psikis, namun juga secara fisik seperti penurunan sistem kekebalan tubuh, dan timbulnya penyakit-penyakit kronis.

Laki-laki dituntut kuat dalam memikul semuanya sendiri. Masalahnya sendiri, masalah kerabatnya, masalah rumah tangganya, tanggung jawabnya pada orangtuanya, istri dan anaknya, masalah di tempat kerjanya, masalah sosialnya dan lain-lain. Ditambah dengan pola pikir modern yang menuntut para lelaki agar menjadi sosok yang sempurna. Padahal sekali lagi, laki-laki juga hanya manusia biasa, sebagaimana halnya perempuan.

Perempuan tidak selalu lemah, dan laki-laki tidak selalu kuat. Sebagaimana perempuan yang saat ini banyak yang menyuarakan hak-hak mereka akan pendidikan dan perlindungan, laki-laki juga memiliki tugas yang sama demi mengubah pemikiran orang-orang tentang toxic masculinity tadi. Tentu saja lelah boleh, tertekan jangan.

Laki-laki tidak harus selalu menjadi garang, kuat, perkasa, kaku, keras, berkuasa demi membuktikan bahwa ia adalah laki-laki sejati. Karena sebagaimana yang diceritakan di banyak buku sejarah, karakteristik Nabi Muhammad itu justru lembut, penyayang, ramah, peka, perasa. Dan apakah beliau adalah laki-laki sejati? Ya. Justru, semua sifat itulah yang membuat Nabi Muhammad menjadi laki-laki sejati. Sifat-sifat itu pulalah yang membuat beliau menjadi pemimpin terbaik bagi keluarga dan umatnya.

Perbaiki pola fikir, bukan masalah laki-laki atau perempuan. Laki-laki adalah manusia biasa, yang juga memiliki emosi kecewa, sedih, takut, dan semacamnya. Dan mereka bebas mengekspresikannya secara positif tanpa takut merasa lemah. Karena ya, memang lemah. Manusia itu lemah. Yang kuat hanya Tuhan, Allah.

Validasi dan pahami emosi dengan sering-sering introspeksi diri. Tanyakan, apa yang membuat kita sedih, muak dan lain-lain. Curahkan juga perasaan tersebut ke orang lain, entah itu orang terdekat atau spesialis. Ekspresikan juga emosinya secara positif, seperti contoh, menangis ketika shalat, menangis, mengadu kepada Allah.

Menangis bagi kesehatan tubuh manusia sendiri memiliki banyak sekali manfaat seperti detoksifikasi tubuh, penenang diri, penghilang rasa sakit, meningkatkan suasana hati, juga sebagai alarm bahwa kita sedang tidak baik-baik saja dan butuh dukungan emosional dari orang sekitar.

Jadi sebaiknya mulai sekarang, para laki-laki juga sudah harus mulai belajar dan memperhatikan kondisi psikisnya. Harus juga belajar memahami perasaannya. Lupakan stigma masyarakat yang tidak masuk akal dan cenderung menekan tersebut. Karena bagaimana pun, nyatanya pemikiran tersebut adalah salah besar dan tidak seharusnya dipertahankan dari generasi ke generasi. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version