Oleh: Anggrek Wulan dan Nony Cihan Kiykac
Hidayah itu hak prerogatif Allah. Dia yang akan memilih siapa saja yang akan terjaga dan siapa saja yang akan tergelincir baik melalui perbuatan, lisan, maupun hatinya. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam setiap perbuatan dan tentu saja dalam berucap. Bahkan ucapan di dalam hati yang tidak dapat didengar manusia, karena Allah Maha Mendengar.
Kebenaran harus diterima siapa pun yang bicara demikian pula sebaliknya, kesalahan harus ditolak siapa pun yang bicara. Bukan mentang-mentang orang terkenal, salah pun tetap dibenarkan.
Kalau ada pernyataan bahwa hafalan adalah pemicu penurunan IQ, maka ada yang salah dengan pengetahuan manusia yang berpendapat demikian. Apalagi bila yang memberi statement adalah dari kalangan muslimin. Sungguh, berhati-hatilah!
FYI, Manteman! Anak-anak pesantren diwajibkan menghafal untuk beberapa kategori pelajaran (walaupun belum paham artinya) dan ini selalu dibiasakan selepas Magrib dan Subuh. Saya pun termasuk yang menjalani hal ini sehari-hari. Bahkan, salah satu guru saya mengatakan, "Hafalkan saja dulu, walau kalian belum mengerti artinya. Saat telah hafal, kalian akan mengerti mengapa diharuskan menghafal."
Benar saja, belakangan saya memahami. Kalau menghafal, secara otomatis otak akan bekerja seiring sejalan pun kita belajar mengetahui artinya secara perlahan. Ketika hal ini terjadi, justru menambah ketelitian kita dan makin meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Terutama Al Qur'an.
Mau bukti lain lagi? Anak-anak yang di dalam kandungan jika diperdengarkan murattal oleh ibunya, cenderung menstimulasi otaknya. Manteman tinggal berselancar di gugel dari hape cerdasnya masing-masing.
Contoh lainnya, saya pernah punya tetangga di sebelah rumah di Cirendeu, Jakarta Selatan. Selain atlet dia juga pelatih olah raga berkewarganegaraan Filipina. Ia selalu mengatakan, bangun tidur lepas Subuh ia akan menghafal beberapa kalimat untuk menambah kosa kata bahasa Indonesia.
Menurutnya, waktu Subuh adalah waktu yang paling baik untuk menambah hafalan meskipun ia tidak paham dan ... beliau bukan Muslim.
Permisalan yang paling kongkrit adalah wahyu yang diturunkan pada Rasulullah merupakan dalam bentuk hafalan. Beliau dituntun oleh Malaikat Jibril untuk menghafalnya, sedangkan pada saat itu Sang Khataman Nabi adalah seseorang yang tidak dapat membaca dan menulis. Bahkan pengakuan beliau termaktub dalam Al Quran surah Al Alaq.
So, jangan karena terpukau dengan gaya hidup dan 'kecerdasan' semu publik figur macam selebgram, artis, vlogger, dan lainnya mampu memengaruhi dan menggerus aqidah kita. Agama tidak sekadar logika, tetapi juga ada faktor gaib (Allah Subhanahu wa Ta'aala) dalam tiap aturan-Nya.
Boleh suka sama orang kaya, koruptor, artis, atau siapa pun tokoh yang kita kagumi. Namun, jangan lupa mereka hanya perlu followers dan bagi mereka dunia beserta isinya adalah hal paling penting buat mereka. Gimana pikiran untuk mematuhi ajaran dan aturan agama?
Manusia yang cerdas, akan berpikir bagaimana cara taat pada Rabb-Nya dan mengaplikasikannya dalam tiap lini kehidupan sesuai kapasitasnya. Bukan berhenti pada pencapaian masuk sekolah elit favorit dalam dan luar negeri, tetapi tidak mengerti dengan ajaran agamanya.
Ojo lali, yang punya otak itu kita sendiri dan kita juga yang harusnya memanfaatkannya dengan baik dan maksimal. Optimalkan pada hal-hal benar dan diridai-Nya, jangan ngandelin artis dan sejenisnya. Berpikir kritis boleh, tetapi tetap berada dalam koridor-Nya. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google