Oleh: Aily Natasya
Gen-Z adalah generasi yang terkenal dengan kepedulian sosialnya. Salah satu yang paling sering mereka perhatikan adalah tentang mental health issues. Bagi generasi-generasi sebelumnya, hal semacam ini sangatlah diremehkan. Padahal permasalahan mental ini asal faktornya kebanyakan karena didikan generasi sebelumnya, seperti contoh trauma karena orang tua yang bercerai, trauma karena kekerasan saat kecil, dan banyak lagi lainnya. Seringnya, anak-anak yang memiliki pengalaman seperti itu memicu penyakit mental seperti depresi dan kecemasan hingga ia dewasa.
Kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jadi seharusnya tidak menjadi hal yang tabu ketika ada yang membahas soal ini. Gangguan mental merupakan jenis gangguan yang mempengaruhi cara berpikir, perilaku, tingkah laku, dan emosi pengidapnya. Sama halnya dengan sakit fisik, jika sakit mental ini tidak ditangani dengan baik, maka akan sangat berbahaya.
Namun sayangnya, meski sudah banyak yang melek akan hal ini, masih banyak orang yang mencemooh orang yang pergi berobat ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan bantuan.
Komentar andalan mereka adalah, “Lagi lemah iman aja, sih, kamu itu. Banyakin istighfar sama sholat.”
Padahal, terkait ibadah orang, siapa yang tahu. Bisa jadi dia sudah melakukan itu semua, namun dengan datangnya dia ke psikolog/psikiater ini bisa jadi adalah satu bentuk ikhtiarnya. Analogi sederhana seperti sakit fisik yang ada beberapa penyakit yang tidak bisa sembuh jika hanya dibalut dengan Hansaplast dan Betadine, yang mana kita harus ke dokter untuk konsultasi tentang penyakit tersebut dan dokter pun akan memberikan saran sebagai seorang ahli, bagaimana baiknya untuk menangani penyakit itu. Sama dengan sakit mental. Ada beberapa penyakit mental yang perlu ditangani oleh ahlinya. Itu bentuk ikhtiar kita. Kita tidak pernah tahu pertolongan Allah itu lewat mana, kan?
“...maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (Al-Anbiya’: 7)
Gangguan mental juga bentuk ujian dari Allah. Oleh sebab itu yang menjadi tolak ukur lemah tidaknya iman kita adalah bagaimana kita menyikapi permasalahan mental tersebut. Berpangku tangan saja, kah? Atau mulai berdoa dan berikhtiar? Atau bahkan malah berputus dari rahmat Allah dan memilih untuk bunuh diri? Na’udzubillah.
Kita tidak pernah tahu karena manusia itu kompleks dan tidak mudah ditebak. Bisa jadi, dengan dia berkonsultasi dengan psikolog/psikiater, lalu dia perlahan-lahan jadi memperbaiki ibadahnya yang sebelumnya belum stabil karena derita mental yang dialaminya. Bisa jadi dari situ, Allah memberinya hidayah. Karena bagaimana pun, ibadah dan pola pikir itu saling berhubungan. Jika mentalnya tidak bagus, bagaimana dia bisa beribadah dengan baik? Jika ibadahnya tidak kunjung baik, bagaimana mentalnya membaik? Bertanya kepada ahlinya adalah jalan tengahnya.
Jadi, tolong, sebagai seorang muslim dan manusia, apalagi jika kita ini adalah orang yang lebih tua, mari kita saling berempati. Kita yang mudah sekali bicara begitu itu, apakah ketika mendapatkan ujian yang seperti dia, kita akan sekuat dia? Belum tentu. Lebih baik mendukung, menemani, dan mendampingi, agar dia bisa sembuh. Atau paling minimal, tidak mengatakan hal-hal yang tidak mendukung, apalagi dengan nada julid. Jangan sampai perkataan kita jadi menambah beban dia dan malah melakukan hal yang tidak-tidak. Tanpa kita sadari, jika kita tidak menahan perkataan dan persepsi kita, kita malah akan membawa mudharat bagi kehidupan orang lain. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.cok\m)
Ilustrasi: Google