View Full Version
Selasa, 11 Jun 2024

Gen Z, Pengangguran dan Harapan Masa Depan Bangsa

 

Oleh : Desti Ritdamaya

Tercatat, ada 10 juta gen Z menganggur (tidak dalam pendidikan, pekerjaan atau pelatihan). Ini angka yang tak sedikit. Kondisi ini rawan bagi negara, mengingat gen Z (15-24 tahun) generasi produktif, yang menjadi armada pembangunan negara. Angka 10 juta ini, belum termasuk dengan korban gelombang PHK yang terus bergulir di berbagai sektor pekerjaan. Jelas ancaman imbas pengangguran menganga di depan mata, seperti kemiskinan dan penyakit sosial lainnya (kriminalitas).

Pengangguran negeri ini termasuk masalah klasik. Bak benang kusut yang tak kunjung menemukan titik terang penyelesaian. Tak hanya sempitnya lapangan pekerjaan formal, menurut Menaker Ida Fauziyah, penyebabnya ketaksesuaian pendidikan dan pelatihan dengan pasar tenaga kerja.

Pemangku kebijakan pun mengakui, ‘seribu’ upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Seperti menggaet investor asing untuk membuka lapangan pekerjaan; membuka pelatihan ketenagakerjaan offline dan online (kartu pra kerja); kerjasama dengan industri skala nasional maupun internasional; menjadikan kurikulum pendidikan berbasis link and match industri; dan sebagainya. Tapi mengapa pengangguran semakin hari semakin meningkat statistiknya? Apakah upaya-upaya yang dilakukan jauh panggang dari api?

 

Akar Masalah Pengangguran : Sistemik

Dalam setiap aktivitas ekonomi terutama yang terkait lapangan pekerjaan (dunia industri barang dan jasa), membutuhkan dua hal pokok, yaitu modal dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dua hal ini memiliki kausalitas dan saling berkelindan.

Mengkaji modal, setiap industri hulu maupun hilir, membutuhkan modal berupa bahan baku dan finansial skala besar. Industri hulu maupun hilir, bahan bakunya berupa Sumber Daya Alam (SDA) dan produk turunannya. Sayangnya SDA hari ini pengelolaannya bukan di tangan negara tapi korporat (swasta, asing/aseng). Negara pun terpaksa membeli ‘milik’ sendiri untuk bahan baku ini. Kekurangan atau pembelian bahan baku ini pasti menghambat produksi dan membengkaknya biaya produksi. Efeknya tentu saja pada upah atau jumlah pekerja.

Finansial besar hanya dimiliki pemodal besar. Harus diakui, hari ini negara pun berkantong kering hingga berutang. Berdalih kurangnya finansial, negara membuka kran investasi swasta atau asing/aseng untuk membuka lapangan kerja. Industri barang (hulu/hilir) dan jasa yang dikelola bukan oleh negara tapi korporat (swasta atau asing/aseng), orientasinya bukan pelayanan tapi profit. Dengan cara menekan biaya produksi seminimal mungkin untuk keuntungan sebesar-besarnya. Termasuk menekan upah pekerjanya atau mengurangi jumlah pekerjanya.

Hal ini relevan dengan data penelitian. Bahwa tak ada hubungan signifikan antara keberadaan sejumlah industri di kota industri dengan peningkatan kesejahteraan pekerja dan pengurangan angka pengangguran. Pun harus disadari, investasi terutama dari asing/aseng menyimpan bahaya bagi ideologi dan kedaulatan negara. Secara tak langsung asing/aseng akan menancapkan hegemoninya pada negara.

Untuk finansial usaha kecil (UMKM), kebijakan negara hari ini mengandalkan pihak lain (bank) dengan pinjaman (berbasis riba). Realitanya ramai media massa melansir, jutaan UMKM bangkrut. Karena kalah saing dengan produk impor, kesulitan mendapat izin usaha dan pinjaman lantaran tak memiliki agunan. Ini menunjukkan bahwa negara belum mandiri dan cenderung lepas tangan dalam menciptakan lapangan kerja bagi rakyat.

Mengkaji SDM, dalam industri barang/jasa dibutuhkan SDM yang kreatif, inovatif dan berdaya saing. Harus diakui, sistem pendidikan Indonesia belum maksimal menghasilkan SDM seperti ini. Data Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, dari tahun ke tahun pendidikan di Indonesia masih berbentuk piramida. Artinya, masih banyak rakyat yang belum bisa menikmati pendidikan layak. Hingga hari ini, Indonesia masih terus berjuang menghadapi tingginya angka putus sekolah. Tak ada sebab lain kecuali benturan kesulitan ekonomi. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi, dengan terus menaikkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pameo rakyar miskin dilarang sekolah memang tak terbantahkan.

Worldtop (2023) merilis tingkat pendidikan negara dunia, menempatkan Indonesia pada posisi 67 dari 203 negara. Hasil survey PISA (2023), tingkat literasi, matematika dan sains siswa Indonesia peringkat 68 dari 81 negara. Sayangnya untuk mengatasi masalah ini, pemerintah malah mengubah kurikulum pendidikan berdasarkan job based learning. Berdalih agar lulusan pendidikan lebih mudah diterima dalam pasar kerja. Padahal kalau mengkaji lebih mendalam, kurikulum seperti ini hanyalah mampu mencetak kelas pekerja bukan kelas pemikir, cendikiawan atau ahli. Hanya dipersiapkan untuk tenaga kerja ‘murah’. Wajar output pendidikan hanya mampu mencari kerja bukan menciptakan lapangan kerja. Wajar banyak lulusan pendidikan tinggi (S1/DIII) yang menganggur.

Penjelasan di atas dapat menjawab mengapa pengangguran menjadi masalah ‘abadi’ di negeri ini. Penyebab pengangguran bukanlah semata sifat individu yang mageran (malas). Tapi kegagalan struktural dalam sistem kapitalisme yang diterapkan negara hari ini. Sehingga dapat dikatakan pengangguran adalah bagian integral sistem kapitalisme.

 

Solusi Pengangguran : Sistem Islam

Membiarkan berlarutnya pengangguran gen Z, sama dengan membiarkan negara terjun ke jurang. Dibutuhkan solusi sistemik terkait masalah pengangguran. Harapan tersebut ada pada penerapan sistem Islam kaffah. Terkait modal berupa bahan baku (SDA dan turunannya), Islam menjadikan SDA sebagai kepemilikan umum dan hanya negara mengelolanya. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Artinya : Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Sehingga negara tak akan kekurangan bahan baku dan tak membutuhkan finansial besar dalam memperoleh bahan baku. Ini tentu saja akan berefek pada kesejahteraan pekerja dan peningkatan jumlah pekerja.

Dalam baitul mal sistem Islam, terdapat diwaanu al ‘athaai (seksi santunan). Seksi ini mengurusi santunan negara kepada rakyat yang membutuhkan. Baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari (seperti fakir, miskin, orang yang berhutang, orang yang lemah fisik dan sebagainya) atau modal pengembangan ekonomi (seperti para petani, peternak, pemilik industri, dan sebagainya). Santunan ini diberikan secara cuma-cuma tanpa kompensansi balik kepada negara. Dengan bantuan finansial ini, rakyat dapat membuka lapangan kerja.

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah wajib. Pendidikan termasuk kebutuhan pokok yang langsung dijamin pemenuhannya oleh negara. Dengan menyediakan biaya, sarana prasarana, SDM dan semua yang terkait dalam pemenuhan kebutuhannya. Kurikulum pendidikan berjalan atas asas akidah Islam (QS. Al Baqarah ayat 151). Materi terkait akidah Islam menjadi topik pertama dan utama. Selanjutnya pemberian materi tsaqafah Islam lainnya dan sains teknologi.

Dengan support penuh dari negara, akan mampu mencetak generasi khairu ummah. Generasi yang keberhasilannya tak diukur dari materi (pekerjaan) semata, tapi ilmu yang bermanfaat bagi umat. Sehingga orientasi generasi adalah fastabiqul khairaat (berlomba-lomba dalam kebaikan) baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Wallahu a’lam bish-shawabi. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version