Oleh: Yons Achmad (Kolumnis. Pendiri Brandstory.ID)
“Suka duka bukanlah istimewa, karena setiap orang mengalaminya,” kata penyair WS Rendra. Tak cukup berkata itu. “Hidup adalah bekerja membalik tanah, memasuki rahasia langit, samudera, mencipta dan mengukir dunia,” tuturnya dalam “Sajak Seorang Tua Kepada Istrinya”. Saya kira, kata-kata itu tetap hidup, walau penulisnya sudah meninggal dunia. Betul memang kata novelis Pramoedya Ananta Toer, “Menulis Adalah Bekerja untuk Keabadian”.
Perkara hidup, menarik perkataan Buya Hamka “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.” Pertanyaannya, hidup yang bermakna itu seperti apa? Tentu, banyak jawabannya. Tapi, ada satu jawaban yang menarik saya kira, hidup yang filosofis. Dengan hidup yang filosofis, setiap hari, bahkan setiap detik adalah makna-makna, bukan yang lain.
Adakah hidup yang semacam itu? Saya akan mengawalinya dengan cerita nyata.
Alkisah, sebut saja Pak Pram (59), seorang tukang becak di Malioboro, Jogjakarta. Anaknya, sudah lulus kuliah. Kini menjadi dokter umum di kota penuh kenangan itu. Oleh anaknya, Pak Pram disuruh berhenti saja bekerja, tapi ia tak mau. Memang mimpi menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana selesai sudah. Tapi kini, tetap memilih tetap bekerja dan menghabiskan masa tuanya. “Ngeten niki Mas sak niki, nunggu shalat mawon (Begini sekarang Mas, cuman nunggu shalat saja).” Ya, begitulah filosofi hidupnya sekarang. Hidup dan bekerja untuk mengisi kegiatan sambil menunggu datangnya azan berkumandang. Benar-benar “Urip kui urup”, hidup yang nyala.
Lain lagi, sebut saja namanya Puji Empire (48), pengusaha, pendiri “Masjid Kayu Jati” yang megah di Bintaro, Tangerang. Baginya, hidup itu menghidupi. Dikenal sebagai pendiri lembaga kursus “Practical Education Center (PECIndonesia)” yang punya cabang ratusan dengan ruko milik sendiri, juga punya sekian sekolah internasional serta vila-vila di Bali. Penampilannya biasa saja, tapi filosofi hidupnya tak kalah menyala. Hidup adalah menghidupi. Selain itu, sebagai muslim, tak kalah hebat visinya. “Saya ingin muslim punya harga diri Mas, lihat tuh gereja tinggi, Masjid Kayu Jati lebih tinggi dari itu kan,” katanya sambil tersenyum sumiringah saat saya berkesempatan berkunjung ke rumahnya.
Pertanyaan kecil. Apakah kita bisa hidup filosofis di negeri “Fufufafa” yang penuh kepalsuan ini? Sepertinya tetap bisa. Sebuah hidup dengan cara pandang yang mendalam dan penuh makna. Bukan hidup semata “Aktivisme” saja, terlihat banyak aktivitas, gubrak gubruk sana sini tapi tak jelas apa yang dikerjakan, terlebih hasilnya. Hidup yang filosofis bukan begitu. Ia melangkah, dengan arah yang jelas, dengan kedalaman (ilmu) dan kedalaman pandangnya, menjadikan kehidupan menjadi penuh makna. Hasilnya begitu tampak, tak hanya bagi diri, tapi juga sekitar, sesama bahkan alam semesta. Sebuah hidup yang menyala.
Di sisi lain. Ia tidak silau atau iri. Misalnya, ada pegawai Mahkamah Agung yang simpan uang di rumahnya hampir 1 triliyun yang konon hasil dari makelar kasus. Ada pejabat yang kaya raya konon karena mainkan kuota haji. Ada pejabat lain yang hidup mewah bergelimang harta karena upeti situs judi online. Ia, orang-orang yang hidup filosofis, masih menjaga akal sehat. Ia tidak silau dengan semua itu. Jebakan duniawi, bisa dihindari. Jalan hidupnya tak bakal seperti itu. Ia akan tetap melangkah dengan tenang memegang erat filosofi hidupnya. Sungguh, sebuah kebahagiaan tentu saja, mereka yang benar-benar bisa menjalani hidup secara filosofis.
Hidup yang filosofis, semacam pesan pujangga Jawa, Ronggowarsito dalam serat Kalatida. Sak bejo-bejoning wong kang lali, luwih bejo kang eling lan waspada!” (Seberuntung- beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada). Eling lan waspada dapat dibahasakan menjadi mawas diri. Bahkan, di zaman “edan” sekalipun. Ia tidak larut dengan orang-orang yang “edan” karena takut tak kebagian. Misalnya, dalam perkara rezeki, sudah punya jalannya sendiri, tak ikut-ikutan mendapatkannya dengan cara “edan”.
Sebagai pamungkas, saya akan tutup kolom ini dengan menghadirkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, beliau mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib, ketika Ali mengirim surat kepada Salman al-Farisi tentang perumpamaan dunia:
“Perumpamaan dunia sama seperti ular, lembut bila dipegang tetapi racunnya mematikan. Sebab itu, berpalinglah engkau dari bagian dunia yang membuatmu terpesona karena hanya sedikit saja darinya yang akan menemanimu. Hindarilah kesusahan dengan keyakinanmu bahwa engkau pasti akan berpisah dengannya. Jadilah orang yang paling menjauhinya dan paling waspada terhadapnya. Sebab ketika pemiliki dunia itu merasa tenang dalam kesenangan, maka dunia telah menjerumuskan kepada hal-hal yang disukai.”
Hidup secara filosofis, pada akhirnya setiap orang punya jalannya masing-masing. Contoh kisah di atas, sekadar membuka ruang renung. Diri dengan hidup yang filosofis, memberinya kesempatan sesadar-sadarnya, untuk menjadikan hidup dengan makna-makna dalam setiap tarikan nafas yang dihirup hembuskannya. Sehingga, setiap perjalan hidupnya bukan sia-sia, hampa dan omong kosong belaka. Tapi, hidup dengan perjalanan makna sepanjang hayatnya. Omong-omong, apa filosofi hidupmu? [PurWD/voa-islam.com]
Tanah Baru. 6 November 2024.