View Full Version
Ahad, 10 Nov 2024

Julid Jadi Budaya Bangsa?

 

Oleh: Aily Natasya

“Sekolah tinggi-tinggi kok cuman jadi barista,”

“Capek-capek kuliah kok cuman jadi tukang sayur,”

“Udah lulus kuliah kok kerjanya masih serabutan.”

Teman-teman ada yang pernah digituin, nggak? Atau justru kalian yang gituin orang? Hmm.

Di Indonesia, pemuda-pemudi yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya sudah umum terjadi. Cuman, julidan-julidan semacam itu biasanya ditargetkan ke orang-orang yang bekerja di pekerjaan yang mereka anggap kurang berkelas aja.

Ada sekitar 50-60% (survei Kemendikbud pada 2020) orang di Indonesia yang akhirnya tidak bekerja sesuai dengan jurusan mereka saat kuliah. Faktornya ada banyak, namun umunya, hal ini terjadi karena lapangan kerja yang sesuai dengan jurusan kuliah yang ditempuh sangat terbatas, dinamika pasar tenaga kerja, serta minat dan bakat yang berubah setelah lulus.

Karena ini bukanlah hal yang baru, harusnya tidak dianggap tabu anak-anak yang baru lulus kuliah itu kerjanya masih serabutan. Namanya juga berproses. Sambil menunggu panggilan wawancara dan terus mencari pekerjaan, bekerja atau berdagang apa pun tidak masalah, asalkan halal. Akan tetapi memang, masyarakat kita mana peduli soal proses?

Julidan-julidan tersebut bukanlah julidan ringan sebenarnya. Julidan-julidan semacam itu dapat mempengaruhi mental dan pola pikir seseorang. Contoh kasus, ada anak yang baru lulus kuliah. Jurusannya sewaktu kuliah adalah Teknologi Pangan. Namun sayangnya, dari beberapa perusahaan yang ia lamar selama 3 bulan ini, belum ada satu pun yang menerimanya. Di sisi lain, dia butuh uang sesegera mungkin, namun di sisi lain, dia gengsi untuk bekerja serabutan ke sana ke mari dulu. Apa kata keluarga dan tetangga? Tapi, kalau terus menganggur juga akan dicemooh juga.

Contoh kasus yang lain, ada anak yang baru lulus kuliah jadi tukang sayur. Setiap pagi dia selalu keliling untuk jualan sayur. Jurusan dia semasa kuliah adalah Manajemen dan Bisnis. Karena dia lulus-lulus cuman jadi tukang sayur, julidan-julidan masyarakat pun bermunculan. Padahal nggak ada yang salah dengan jualan sayur walau pun dia sudah sarjana. Karena namanya juga baru lulus, ya, wajar dong mulai dari hal yang kecil dulu. Mulai dari nol dulu. Masak maunya dia langsung jadi CEO aja?

Memahami mereka

Biasanya, yang julid-julid itu emang orang-orang yang nggak pernah kuliah, dan anaknya pun nggak kuliah. Langsung kerja. Julidin anak-anak yang kuliah adalah salah satu cara mereka untuk memuaskan ego mereka demi menggendong insecurity mereka karena nggak kuliah. Karena bagaimana pun, tidak dapat kita pungkiri bagaimana pandangan masyarakat terhadap anak-anak yang mengemban bangku kuliah. Mereka sangat dihormati dan dibanggakan.

Jadi, jika mereka tidak bisa memuaskan ekspektasi masyarakat tadi, maka mereka akan dicemooh habis-habisan. Betapa beratnya pundak mahasiswa. Mereka tidak hanya menggendong ekspektasi keluarga, namun juga ekspektasi masyarakat dan negara.

Akan tetapi, logikanya begini, anak-anak yang baru lulus kuliah itu sama dengan anak-anak yang baru lulus SMA langsung kerja. Emangnya anak SMA habis lulus kerjanya langsung jadi direktur? Nggak, kan? Berproses dulu, jadi office boy dulu, karyawan dulu. Jadi jangan membebani mereka lebih lagi karena mereka sudah babak belur karena bertarung dengan rasa cemas dan rasa takut mereka terhadap masa depan.

Sebagai orang tua, teman, tetangga, dan masyarakat yang baik dan bermoral, alih-alih mencemooh dan menjatuhkan semangat mereka, alangkah lebih baik kita menyemangati mereka. Karena kita tahu memulai segalanya dari nol itu tidak mudah. Maka berempatilah. Jika tidak bisa memberikan kata-kata semangat atau pun dukungan lain, maka lebih baik diam. Jadi paham, ya? Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version