View Full Version
Selasa, 19 Nov 2024

Konsep Stoic dalam Islam

 

Oleh: Aily Natasya

Stoic menjadi pembicaraan hangat selama beberapa tahun belakangan ini. Dibahas di mana-mana, disebut-sebut, dan dijadikan inspirasi dan nasehat bagi banyak orang yang membutuhkannya. Karena nyatanya, konsep berpikir stoic ini sangat-sangat dibutuhkan dan relate bagi generasi sekarang, yakni Milenial dan Gen-Z.

Walau stoicism sudah menjadi pembahasan yang familiar di kalangan anak muda sekarang, namun apakah masih ada yang belum tahu apa itu stoic? Baiklah, buat yang belum tahu, stoic atau stoicism adalah sebuah filosofi yang dikembangkan oleh para filsuf yang berasal dari Yunani kuno.

Konsep stoicism dalam penerapannya ke dalam kehidupan adalah tentang bagaimana kita bisa menerima hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan dan berfokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Stoicisme diharapkan dapat mengurangi rasa khawatir dan rasa cemas, menemukan kedamaian dalam hidup, lebih bijaksana, berani, adil, memiliki kesadaran dalam pengendalian diri, berpikir tenang dan rasional, dan lapang dada.

Bagi seorang muslim yang sudah belajar soal tawakkal, pasti akan sadar dan menemukan kesamaan konsep stoicisme ini dengan konsep tawakkal yang diajarkan dalam agama Islam. Karena tawakkal juga merupakan salah satu konsep akidah yang mengajarkan kita agar berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah mengusahakan apa yang bisa kita usahakan, dan tetap tenang dalam menghadapi segala hal yang tidak bisa kita kendalikan terjadi. Perasaan tenang itu berasal dari rasa percaya kita, iman kita kepada Allah bahwasannya Allah-lah yang paling tahu mengapa hal-hal tersebut harus terjadi. Tugas kita selain mengusahakan yang terbaik, fokus pada apa-apa yang bisa kita usahakan, dan sisanya terserah bagaimana Allah.

“Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Talaq: 3)

“Maka, apabila kamu telah berazam, bertawakkallah kepada Allah. sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (QS. Ali Imran:159)

Sikap penyerahan diri terhadap sesuatu yang lebih besar kekuatannya sering diajarkan di pembelajaran spiritual mana pun dan agama apa pun. Jadi sebenarnya, pemikiran stoic ini bukanlah konsep pemikiran yang baru. Tidak hanya konsep stoic yang mengajarkan kita untuk menerima apa-apa yang di luar kendali kita, dan hanya berserah diri pada kekuatan yang jauh lebih besar dari kita.

Dalam Islam, konsep semacam ini sudah ada sejak awal. Ingatkah kita tentang bagaimana sikap penyerahan diri Nabi Ibrahim kepada Allah saat tubuhnya hendak dibakar di api yang sangat besar oleh Raja Namrud? Itu adalah salah satu contoh bentuk penyerahan diri yang paling luar biasa indah. Bagaimana tidak, di situasi yang terdesak seperti itu, siapa pun bisa panik dan menangis meraung-raung. Namun, alih-alih bersikap seperti itu, Nabi Ibrahim dengan santainya dan dengan rasa tawakkal yang mendalam, hanya mengucapkan, “Hasbunallah wa ni’mal wakiil.” Yang artinya, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” (HR. Bukhari)

Lalu Allah menyelamatkannya dengan menjadikan api tersebut dingin, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Kami berfirman, ‘Hai Api, menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya’: 69)

Sikap tawakkal adalah sikap yang paling penting dalam konsep akidah dan iman. Sehingga tak heran jika ada banyak sekali kisah-kisah nabi yang menceritakan bagaimana nabi-nabi bertawakkal kepada Allah dalam menghadapi lika-liku kehidupan yang sangat berat.

Jadi begitu, ya. Tidak hanya figur dari filsuf-filsuf Yunani kuno yang bisa kita contoh prinsip hidupnya, namun Islam juga punya prinsip hidup yang sudah dicontohkan oleh para nabi, yang bisa menjadi solusi dalam menghadapi masalah-masalah yang ada di dalam hidup kita. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 

 


latestnews

View Full Version