TEL AVIV (SuaraMedia News) – Seorang perwakilan pemerintah Israel mengemukakan perlunya Israel menerapkan “kebijakan” pembunuhan dan membidik sejumlah pemimpin gerakan perlawanan Palestina “demi keamanan Israel.”
Surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth, menyebutkan bahwa Israel Hasson, mantan deputi kepala Shin Bet, menyerukan Israel untuk meneruskan “kebijakan” pembunuhan terhadap para pemimpin gerakan perlawanan Palestina.
Hal itu dilakukan untuk memberikan tekanan lebih besar terhadap para pemimpin Hamas agar bersedia lebih lunak dalam kesepakatan pertukaran tahanan dengan Gilad Shalit.
Dalam sebuah simposium yang digelar kemarin di sebelah selatan Beersheba, dia mengklaim bahwa tidak ada alternatif lain bagi pemerintahan Israel kecuali mengadopsi “kebijakan” semacam itu.
Ia mengatakan bahwa “kebijakan” tersebut akan membuat para pemimpin Palestina mengerti bahwa segala bentuk tindakan yang “mengganggu keamanan Israel” harus dibayar mahal, dan mungkin harus dibayar dengan nyawa.
Hasson mengatakan bahwa pembunuhan para pemimpin Palestina adalah sebuah hal yang efektif dan mampu menghentikan tembakan roket dari Jalur Gaza terhadap kota-kota dan pemukiman Israel.
Pembunuhan pemimpin perjuangan Palestina, menurut Hasson, akan membuat para penembak roket mempertimbangkan kembali tindakan mereka, karena tindakan mereka harus dibayar dengan nyawa pemimpin mereka. Hasson mengatakan bahwa hal tersebut akan “menyeimbangkan ancaman”.
Surat kabar berbahasa Ibrani tersebut memberitakan mengenai pembunuhan tiga orang anggota gerakan Fatah yang dilakukan oleh militer Israel untuk membalas kematian seorang rabbi di pemukiman Yahudi di Tepi Barat, dan hal tersebut menjadi indikasi pengguaan kembali “kebijakan” pembunuhan kader Palestina oleh pemerintah Israel. Tiga orang itu adalah Ghasan Abu Sharkh, Raed Sarkaji, dan Anan Suboh.
Pasukan Israel memasuki Nablus dengan mendapatkan pengarahan dari dinas intelijen Shabak/Shin Bet. Israel menganggap operasi militer tersebut berhasil, karena hanya berselang 48 jam setelah terjadi serangan terhadap sebuah mobil Israel di Tepi Barat. Pemerintah Palestina mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah upaya Israel untuk menghancurkan proses perdamaian dan upaya AS serta komunitas internasional untuk memperbaharui proses negosiasi.
Selain pembunuhan tiga orang warga Palestina di Nablus, Tepi Barat, tiga orang penduduk Palestina di Gaza juga dibunuh Israel. Pembunuhan tersebut terjadi pada tanggal 26 Desember lalu.
Tiga orang warga Gaza tersebut dibunuh setelah berusaha melewati pos penjagaan Erez, menuju “wilayah Israel”. Menurut koresponden Aljazeera, tiga orang tersebut tengah mencari logam dan bahan bangunan untuk didaur ulang dan dipergunakan kembali di Gaza.
Operasi Israel di Tepi Barat merupakan sebuah perkembangan serius di kawasan tersebut, karena hal itu berpotensi memicu reaksi dari kubu Palestina dan menimbulkan bentrokan. Meski pasukan keamanan Palestina telah melakukan apapun yang diminta untuk menjaga keamanan, Israel terus saja main hakim sendiri dan bahkan melakukan eksekusi di hadapan publik. Israel mengklaim bahwa hal tersebut merupakan hukuman yang pantas bagi orang-orang yang terlibat dalam “serangan teroris” terhadap Israel.
Dalam operasi di Tepi Barat, Israel mempergunakan roket dan persenjataan berat untuk menembaki bangunan-bangunan yang dihuni warga sipil. Pasukan Israel menyerbu kediaman Anan Suboh dan tetap tinggal di dalam selama beberapa jam sebelum kemudian mengeksekusi Suboh. Hal tersebut meninggalkan tanda tanya mengenai tujuan Israel yang sebenarnya dalam operasi tersebut. Misi yang sebenarnya bukanlah untuk menangkap para aktivis Palestina, namun menginvestigasi dan mengeksekusi mereka, apapun yang terjadi. Ghasan Abu Sharkh tidak tahu menahu mengenai gerakan perlawanan, namun tetap saja dia dibunuh dengan sadis, kepalanya ditembak oleh para serdadu Zionis. Istri Raed Sarkajy tengah terluka dan tertidur bersama dengan suaminya di ranjang. Pasukan Israel merangsek masuk dan menembak mati keduanya.
Operasi militer brutal tersebut melambangkan sebuah pesan dari Israel kepada Palestina. Israel siap membunuh siapapun tanpa melalui proses hukum atau menghormati keberadaan pemerintah Palestina di Tepi Barat.
Kelakuan Israel tersebut dikritik oleh sejumlah organisasi internasional karena merupakan hal yang melanggar hukum dan kejam. Israel bukan hanya melanggar kesepakatan keamanan dan menyerang wilayah hunian sipil, namun membunuh orang-orang yang dianggap mencurigakan tanpa menghiraukan hukum dan keadilan.
Keenam warga Palestina tersebut dihabisi tepat pada hari peringatan pembantaian 1.600 orang korban yang kehilangan nyawa dalam perang Gaza. Hingga saat ini, Israel terus berpegang pada rencana keamanannya untuk menangani konflik dengan Palestina. Namun hal tersebut hanya menghadirkan kemarahan dan kebencian warga Palestina – yang menderita hingga detik ini – terhadap Israel dan para penduduknya. (dn/im/mp) www.suaramedia.com