View Full Version
Selasa, 19 Jan 2010

PBNU Berang Disebut Tak Boleh Keluarkan Fatwa

 

JAKARTA (SuaraMedia News) - Pernyataan Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar bahwa hanya MUI yang berhak mengeluarkan fatwa menuai protes dari ulama PBNU. Pernyataan tersebut dinilai sepihak dan semena-mena.

“Tidak perlu dikotak-kotak, ada yang diperbolehkan atau tidak. Indonesia bukan negri islam jadi tidak ada UU yang mengatur siapa yang berhak memberikan fatwa,” ujar Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Arwanie Faishal saat berbincang di Jakarta, Selasa (19/1/2010).

Fatwa menurut Kiai Arwanie merupakan penjelasan atas suatu permasalahan. Sehingga siapa pun yang memiliki kompetensi berhak untuk mengeluarkan fatwa. “Saya tidak setuju kalau yang berhak mengeluarkan fatwa hanya MUI. Setiap lembaga dan orang yang punya kapasitas keilmuan punya hak mengeluarkan fatwa,” ungkapnya.

Kemarin, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar menyatakan, umat tidak wajib mengikuti semua fatwa haram yang ditentukan kelompok-kelompok tertentu tanpa alasan mendasar. Kata dia, berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa haram hanyalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Lontaran Nasarudin merupakan respons atas fatwa haram rebonding dan pre wedding yang dikeluarkan Forum Musyawaroh Pondok Pesantren Puteri se-Jawa Timur (FMP3) Puteri Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Sementara itu, Keluarnya fatwa pengharaman rebonding rambut menuai protes dari Meutia Hatta. Putri proklamator itu menilai fatwa itu terlalu mengada-ada, lantaran masih banyak persoalan lain terkait perempuan yang seharusnya mendapatkan perhatian serius.
Hal itu dikemukakan mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu di sela kunjungannya di Trans Kalla (Trans Studio) usai menghadiri peresmian Wisma Kalla di Makassar. Meutia mengatakan, pengharaman rebonding oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur merupakan hal yang tidak berguna.

Harusnya kata Meutya, banyak hal-hal lain yang perlu dipikirkan bersama. Menurutnya, nilai-nilai islam yang asli harusnya dijalani  dengan baik, bukan dengan mengharamkan hal-hal yang ada di tengah masyarakat.

“Itu kurang kerjaan namanya. Perhatian seharusnya lebih tertuju pada bagaimana meningkatkan taraf hidup perempuan, bagaimana mereka memperoleh kesempatan kerja dan cari nafkah, “ terang Meutia.

Meutya menambahkan, rebonding itu dilakukan oleh semua orang. Bukan hanya umat Islam saja. Karenanya kata dia, pelarangan itu terlalu dibuat-buat. “Pola fikir dan perilakulah yang perlu mendapatkan perhatian serius, bukan penampilan perempuannya,” kata putri Proklamator Bung Hatta ini.

Meutia memaparkan, efek rebonding bagi perempuan juga tak selamanya baik. Menurutnya, ada yang cocok jika rambutnya direbonding ada pula yang malah telihat semakin kurang menarik. “Bahkan ada lelaki yang malah kehilangan gairah jika melihat seorang perempuan itu melakukan rebonding, “ujarnya.

Meutia meminta pihak yang mengeluarkan fatwa itu agar memikirkan jenis fatwa lainnya yang berhubungan langsung dengan realitas di masyarakat. Menurutnya, fakta adanya bunuh membunuh dalam keluarga dapat direkomendasikan menjadi fatwa.

“Kalau bisa fatwa pengharaman suami membunuh istrinya, ibu membunuh anaknya, atau penjualan bayi dan trafficking yang diambil. Bukan yang seperti ini. Dalam semua kitab suci pembunuhan kan diharamkan. Baik itu dalam Alquran, Injil maupun lainnya, “pungkasnya.

Sebelumnya, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar mengatakan, fatwa haram naik ojek yang ditetapkan Forum Musyawaroh Pondok Pesatren Puteri se-Jawa Timur (FMP3) terlalu cepat.

Terkait dasar hukum yang digunakan FMP3 dalam mengeluarkan fatwa karena terjadi persinggungan badan, juga dibantah Nasaruddin.  Menurut dia, dalam mengeluarkan fatwa harus memperhatikan kebutuhan dan mempertimbangkan kemudahan yang diterima masyarakat itu sendiri.

"Umat tidak wajib mengikuti semua fatwa haram yang ditentukan kelompok-kelompok tertentu tanpa alasan mendasar,” kata Nasaruddin.

Kata dia, berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa haram hanyalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebagaimana diberitakan, dalam bahtsul masail yang digelar (FMP3) di Ponpes Puteri Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah fatwa, antara lain diharamkannya penataan rambut, baik rebonding (pelurusan) maupun pengeritingan bagi wanita yang belum bersuami, perempuan yang naik ojek atau berprofesi sebagai tukang ojek.

Selain itu forum ini juga mengharamkan pre-weding, artis muslimah yang memeran lakon sebagai orang nonmuslim, serta artis wanita yang mengumbar auratnya untuk tuntutan skenario.(ok3) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version