JAKARTA (SuaraMedia News) - Meski sama-sama mengalami pertumbuhan ekonomi positif pascakrisis global, Indonesia masih bertekuk lutut dengan kedigdayaan industri China. Salah satu penyebabnya, masih tingginya biaya ekonomi di Indonesia.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro mensinyalir biaya ekonomi tinggi (grease money), salah satunya karena banyaknya pungutan liar atau upeti.
"Dalam yang setahun (pungli) bisa mencapai Rp 3 triliun," kata Mudrajad di Jakarta, 11 Februari 2010. "Biaya ekstra ini harus dikeluarkan perusahaan sejak mencari bahan baku, memprosesnya, maupun ekspor."
Dia merinci, biaya-biaya ekstra tersebut berpotensi meliar mulai saat membayar PPN, melakukan illegal logging, memulai izin usaha, kenaikan UMK, kenaikan tarif (BBM, listrik, dan telepon), biaya THC (terminal handling charges), biaya parkir kontainer, biaya lewat kontainer, hingga pungutan liar di jalan raya.
"Itu kenapa kita tak bisa kompetitif seperti di China," ujarnya.
Dia mencontohkan, kenaikan UMP rata-rata di masing-masing provinsi hanya naik 15 persen per tahun, sementara jika dibandingkan di Batam bisa mencapai 250 persen per tahun.
Produktivitas tenaga kerja, menurut Mudrajad, juga mendorong industri di China maju pesat. Di China, pekerja harus bekerja selama 12 jam per hari, sedangkan di Indonesia hanya 7-8 jam per hari.
"Kalau di Indonesia banyak hari libur, tapi di China hari liburnya paling hanya 4 hari setahun. Karena di sana cuma merayakan Imlek. Selain itu, mesin pabrik di China produksi 7 hari dalam seminggu. Jadi akan susah kalau kita lawan China," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan mengungkapkan Indonesia membutuhkan 75.000 - 100.000 doktor agar mampu bersaing dengan China dan India dalam 25 tahun mendatang.
"Kita butuh tenaga lulusan Phd sebanyak itu jika tak mau tenggelam melawan China dan India," ujar Gita saat ditanya kembali seusai berbincang dengan Editor Club di Jakarta, Kamis malam.
China dan India, merupakan dua calon raksasa ekonomi baru dunia. Pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut rata-rata sangat tinggi, bahkan pertumbuhan China sebelumnya rata-rata 10 persen. Ribuan pelajar dari negeri itu berbondong-bondong menyerbu sekolah favorit di negara-negara barat.
China sudah mengalahkan Jerman dari sisi jumlah ekspor terbesar dunia. China juga mulai mengalahkan Jepang dari sisi produk domestik bruto ekonomi.
Indonesia juga bermimpi menjadi salah satu calon kekuatan ekonomi dunia dengan niat menggenjot pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen. Namun, bangsa ini masih terus disibukkan dengan urusan keributan domestik yang terus mengusik.
Gita menekankan saat ini saja, setiap tahun China telah meluluskan ribuan doktor. Begitupun dengan India. Pada 25 tahun lagi, diperkirakan total jumlah doktor dari China akan melebihi Amerika Serikat.
Sedangkan, Indonesia masih jauh. Dia memberi contoh salah satu sekolah favorit di Inggris, University of Cambridge. Di perguruan tinggi itu, dari total pelajar asing sebanyak 700-an asal Amerika Serikat, 600 dari China, 400-500an dari India, serta 250 pelajar asal Singapura.
"Dari Indonesia berapa coba, cuma 7 orang. Ini sungguh menyedihkan," kata Gita. Menurut dia, di negara lain, seperti Singapura, pendidikan menjadi investasi yang sangat berharga, bahkan mereka sudah memikirkan sejak dari TK.
Padahal, Gita menekankan agar bangsa Indonesia mampu bersaing di percaturan ekonomi global, negeri ini membutuhkan tenaga berpendidikan tinggi yang semakin banyak. Ironisnya, pelajar Indonesia yang sekolah di luar negeri berkurang dibandingkan pada era 1980-1990an.
"Kita akan susah bersaing melawan China dan India jika terus seperti sekarang," katanya.(v2v) www.suaramedia.com