JAKARTA (SuaraMedia News) Kalangan perempuan menilai nikah siri dan kumpul kebo sama-sama merugikan. Karena itu tidak bisa praktek nikah siri dilindungi dengan dalih mencegah perzinahan atau kumpul kebo.
"Keduanya sama-sama merugikan, jadi tidak bisa nikah siri dihadapkan dengan kumpul kebo," kata Koordinator bidang Dakwah Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Badriyah Fayumi.
Badriyah mengatakan nikah siri dalam prakteknya sering merugikan perempuan dan anak. Karena itu dia setuju dengan penindakan terhadap nikah siri yang seringkali justru diselewengkan jadi dalih melegalkan perzinahan.
Namun Badriyah juga tidak setuju dengan praktek kumpul kebo atau perzinahan. Dia mengatakan tidak setuju dengan nikah siri bukan berarti mendukung orang untuk kumpul kebo.
"Dari pada nikah siri, kalau dia niat menikah sebaiknya dilegalkan saja. Tidak ada kaitannya tidak setuju nikah siri dengan mendukung kumpul kebo," ujarnya.
Badriyah mengatakan jika selama ini kumpul kebo tidak ditindak, maka ke depan kumpul kebo juga harus ditindak. Pidana kumpul kebo bisa dimasukkan dalam revisi KUHP yang sedang dilakukan.
"Nah tindakan terhadap kumpul kebo itu bisa masuk dalam KUHP yang sedang diproses. Kalau nikah siri perlu tetap ada sanksi, ini kan terbukti banyak fakta yang menunjukkan merugikan wanita dan anak-anak," tandasnya.
Sementara itu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak wacana upaya kriminalisasi pasangan nikah siri seperti yang tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama tentang pernikahan yang memuat sanksi pidana.
Ketua PBNU KH Ahmad Bagdja mengatakan jika nikah siri dikriminalisasi dengan hukum pidana dikhawtirkan akan menyuburkan paraktek kumpul kebo.
"Sangat tidak logis kalau nikah siri dihukum, free sex dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak asasi manusia karena suka sama suka," kata Bagdja, dalam siara persnya.
Bagdja mengatakan dalam Islam nikah siri dianggap sah dan diakui karena sudah ada wali dan dua saksi secara legal syarat sudah syah tapi belum lengkap. Bahkan, Rasulullah memerintahkan akad nikah tersebut diumumkan dan diresepsikan (walimah).
"Sekalipun perintah itu "sunah bukan wajib" perlunya guna menghindari salah faham sosial , gosip dan fitnah serta menjaga keamanan batin keturunan,” jelasnya.
Jika "kesempurnaan" atau syahnya nikah itu akan "diambil" oleh aturan Negara. Bagdja menyarankan cukup dengan memberlakukan "kewajiban administratif" dan sanksinya juga cukup "sangsi administratif" Negara.
"Misalnya belum adanya pengakuan negara sebagai keluarga dan sebagainya . Kalau pakai pidana nantinya yang kawin siri dapat saja ngaku kumpul kebo kemudian bebas berdasarkan suka sama suka dan hak asasi . Aneh nggak ?," tuturnya.
Karena itu dia menekankan agar hal itu dikembalikan saja kepada hak perdata, bukan pidana . Dia mengatakan jika banyak yang tidak nikah siri dan malah kumpul kebo justru wanita yang dirugikan.
"Penghormata terhadap martabat wanita diukur menurut tingkat pertanggungjawaban laki-laki terhadap kehidupan perempuan dan di dalam free sex sama sekali tidak ada perlindungan bahkan pelecehan," tuturnya.
Disisi lain Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan, nikah siri sudah memenuhi persyaratan hukum Islam yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, nikah siri dinilai lebih banyak merugikan pihak wanita karena tidak ada jaminan hukumnya.
Sanksi hingga pidana bagi pelaku nikah siri menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Yunahar Ilyas LC, terlalu jauh. "Kalau mau mempidanakan, pidanakan pelacuran dulu. Ada prioritaslah, kan ada pelacuran, pezinahan, kumpul kebo yang jelas-jelas tidak sah, kenapa tidak itu dulu yang ditempuh," katanya.
Yunahar mengakui nikah siri tidak baik dan tidak menguntungkan sehingga seharusnya pemerintah melakukan sosialisasi tentang pentingnya pencatatan.
Jika ada yang nikah siri seharusnya diminta untuk mencatatkannya di KUA, tidak perlu nikah ulang. Dan jika tidak mau mencatatkan juga baru mereka mendapatkan sanksi administratif.
"Pemerintah harus melakukan kampanye besar-besaran apa ruginya nikah siri terutama bagi kaum perempuan, dan untuk mencatatkan diri di KUA seharusnya dipermudah," jelasnya
Lebih lanjut Yunahar menyatakan jika nikah siri dipidanakan orang akan lebih memilih kumpul kebo yang tidak dipidanakan.
"Saya tidak sependapat kalau langsung dipidanakan. Sanksi paling tinggi tidak diakui, tidak bisa digunakan dimanapun," ujarnya
Sementara itu pengamat sosial Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Sunyoto Usman pembahasan rancangan Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan hanya sekedar proyek saja dan lebih kental dengan nuasa politisnya.
"Ya kalau draf RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan ini dibahas maka sekedar proyek dan hanya bersifat politis," katanya
Sunyoto menyatakan untuk saat ini langkah yang bijak dilakukan pemerintah dari pada memikirkan rancangan Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah dengan sosialisasi mengenai pentingnya sebuah lembaga perkawinan kepada masyarakat serta sulitnya poligami.
"Langkah ini lebih efektif dibanding memberlakukan pemidanaan bagi pelaku nikah siri. Dengan gencarnya sosialisasi sekaligus akan mengurangi terjadinya perkawinan yang dilakukan secara instant," tuturnya.(vv3) www.suaramedia.com