View Full Version
Kamis, 25 Feb 2010

"Pendukung Percampuran Gender Harus Dihukum Mati"

RIYADH (SuaraMedia News) – Seorang ulama Saudi terkemuka mengeluarkan sebuah maklumat yang menyerukan agar para penentang pemisahan tegas kaum pria dan wanita oleh kerajaan dihukum mati jika mereka menolak untuk meninggalkan pemikirannya.

Sheikh Abdul-Rahman al-Barrak mengatakan dalam sebuah fatwa bahwa pencampuran gender di tempat kerja atau pendidikan seperti yang disarankan oleh kelompok moderniser adalah hal yang dilarang karena mengijinkan saling pandang dan berbicara antara pria dan wanita akan menimbulkan godaan yang mengarah ke perzinaan.

“Semua ini menuntun ke apa pun apa pun yang akan terjadi kemudian,” ujarnya dalam naskah fatwa yang dipublikasikan di situsnya (albarrak.islamlight.net).

“Siapapun yang mengijinkan pencampuran ini, mengijinkan sesuatu yang dilarang, dan siapa pun yang mengijinkannya adalah kafir dan ini berarti keluar dari Islam. Ia harus membatalkannya atau dibunuh karena telah mengingkari dan tidak mematuhi syariah,” ujar Barrak.

“Siapa pun yang menerima anak perempuannya, saudara perempuan atau istrinya bekerja dengan kaum pria atau masuk ke sekolah campuran, adalah orang yang tidak terlalu peduli akan kehormatannya dan sejenis dengan mucikari,” ujar Barrak.

Barrak, 77, tidak memegang posisi kepemerintahan namun ia dianggap sebagai otoritas independen konservatif Muslim Saudi.

Namun ternyata naskah fatwa tersebut ditentang oleh sesama ulama Saudi, termasuk Sheikh Dr. Abdullah Al-Tariki.

Al-Tariki mengatakan, pendapat tersebut merupakan suatu kesalahan yang diucapkan ulama garis keras.

Al-Tariki kemudian menekankan untuk membandingkan fatwa yang diajukan Barrak dengan ulama lainnya.

Dr Muhammad Annajimi, anggota lembaga Fiqih Islam, juga menyebut fatwa tersebut sebagai kontroversial, dan telah terlepas dari lembaga keagamaan.

Annajimi menjelaskan, sebuah fatwa harus terlebih dahulu mendapat pengakuan ulama lainnya sebelum benar-benar diterima masyarakat luas agar tidak menyebabkan kebingungan.

Diplomat-diplomat Barat meyakini bahwa dorongan Raja Abdullah untuk reformasi ditentang terutama oleh generasi ulama yang lebih tua yang masih mengendalikan penegakan relijius.

Kerajaan Saudi mengeluarkan seorang ulama dari dewan cendekiawan relijius terkemuka di bulan Oktober setelah ia menuntut cendekiawan relijius itu memeriksa kurikulum di sebuah universitas campuran yang baru.

Kerajaan tersebut diperintah oleh keluarga al Saud dalam aliansi dengan para ulama yang mengawasi Masjid-Masjid, pengadilan, dan pendidikan serta mengelola sebuah badan kepolisian relijius.

Pemerintah Saudi menggaji polisi moral yang berpatroli di jalan-jalan dan tempat perbelanjaan untuk memastikan kaum pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan keluarga tetap terpisah, agar kaum wanita tetap tertutup dari ujung kepala hingga ujung kaki dan merazia minuman beralkohol serta narkoba.

Pada tahun 2008, Barrak mengeluarkan sebuah fatwa  bahwa dua penulis Saudi harus diadili dengan tuduhan murtad karena menulis artikel-artikel sesat dan harus dihukum mati jika mereka tidak bertobat setelah dua artikel yang mempertanyakan sudut pandang Muslim Sunni di Saudi bahwa kaum Kristen dan Yahudi harus dianggap sebagai orang-orang yang tak beriman.

Ia juga mengecam Muslim Syiah sebagai kaum kafir dalam maklumat lainnya yang berkaitan dengan ketegangan sektarian di Irak. (rin/aby/iol) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version