JAKARTA (SuaraMedia News) - Komisi Nasional Perempuan mencatat kasus pernikahan siri sebagai bentuk dan pola kekerasan terhadap perempuan. Sedikitnya Komnas Perempuan menerima pengaduan 49 kasus.
"Betapa mengerikan fenomena itu," kata Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan Kunthi Tri Dewiyanti, saat jumpa pers, di Kantor Komnas Perempuan.
Dia menuturkan akibat pernikahan siri tersebut, ada ketidakjelasan status hukum perempuan sebagai istri apabila terjadi perceraian atau suami yang pergi meninggalkan rumah. "Bukan hanya harta gono gini, tetapi posisi mantan istri yang ingin menikah lagi, karena tidak ada akta nikah atau cerai," kata dia, Minggu 7 Maret 2010.
Dia mengungkapkan, ada beberapa alasan terjadinya perkawinan siri tersebut. Salah satunya mengatasi pernikahan antaragama. "Termasuk mereka yang tidak tercatat dalam enam agama," kata dia.
Negara, kata Kunthi, sangat ketat dalam mengatur perkawinan. Terkait adanya rancangan undang-undang hukum materi peradilan agama, pihaknya mengaku belum mempelajari secara keseluruhan terhadap rancangan undang-undang yang memicu kontroversi tersebut. "Belum ada sosialisasi dari pemerintah, kalau pemerintah mensosialisasikan tentu kami akan kritisi," kata dia.
Meski demikian, Kunthi mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan hal-hal yang melatar belakangi terjadinya pernikahan siri. "Harus berhati-hati," ujar Kunthi.
Bukan hanya pernikahan beda agama tetapi juga mahalnya biaya adminsitrasi di Kantor Urusan Agama (KUA) ketika akan menikah, adapula perkawinan siri yang banyak terjadi di wilayah konflik.
Sementara itu ketua Komnas, Yuniyanti, mengatakan pemerintah harus jeli dalam upaya-upaya mengatasi hal tersebut."Harus ada mekanisme konkret," kata dia.
Meski demikian baik Yuniyanti maupun Kunthi melihat ada upaya melindungi perempuan dalam rancangan undang-undang yang saat ini masih digodog di pemerintah itu.
Memang, semenjak merebaknya wacana nikah siri yang akan dipidanakan, membuat belasan pasangan nikah siri yang mulai memikirkan nasib mereka selanjutnya, banyak pasangan nikah siri maupun kumpul kebo mengikuti acara pernikahan massal di serambi Masjid Agung Keraton Surakarta. Acara ini diselenggarkan Yayasan Amal Sahabat Surakarta.
Berdasarkan pantauan di Masjid Agung Keraton Surakarta, sejak pagi hari belasan pasangan peserta nikah massal tersebut sudah bersiap-siap mengikuti ijab kabul. Beberapa pasangan peserta pernikahan itu terlihat ditemani putra-putrinya. Bahkan, ada yang disaksikan oleh cucunya.
Belasan pasangan tersebut mengenakan pakain adat Jawa. Mereka tampak khusyuk mengikuti prosesi acara. Mulai dari ijab kabul hingga sesi pemotretan serta arak-arakan dengan naik dokar. Uniknya, dalam sesi pemotretan tak hanya pasangan dan orangtua mempelai tetapi juga anak dan cucu mereka pun mengikutinya.
Alasan mengikuti nikah massal tak hanya berdasarkan niat untuk mecatatkan pernikahan mereka secara legal di KUA juga ingin menghindari pidana nikah siri sebagaimana yang diwacanakan saat ini. Seperti diakui pasangan Suharto–Suratmi, warga Banyuanyar, Solo yang memiliki cucu. Pasangan tersebut sudah menikah siri sejak lama. Karena himpitan finansial, mereka belum sempat menikah secara legal di KUA.
"Ya, gimana mas, emang nggak punya uang. Padahal, saya juga ingin mengikuti anjuran pemerintah. Apalagi, sejak ada wacana pidana nikah siri. Beruntung kemarin ada informasi, Yayasan Amal Sahabat mengadakan nikah massal. Kemudian kami pun mendaftar," tutur Suharto yang memiliki mata pencaharian sebagai kru grup musik campursari.
Dia mengakui, dari hasil nikah siri sudah memiliki dua anak dan dua cucu. "Ya, karena kami nggak punya, kami merasa bersalah secara legal. Tetapi bagaimana lagi, penghasilan suami hanya berdasarkan order," kata Suratmi.
Tak berbeda jauh apa yang dialami Eka Mustofa-Sri Wiyanti. Secara tidak langsung, mereka takut dengan adanya isu pidana nikah siri. "Ya, meskipun dalam ajaran Islam diperbolehkan akan tetapi saya tidak mendapatkan surat-surat yang legal. Di mana surat legal tersebut sangat penting bagi kami dan anak-anak tentunya," kata Eko.
Sementara itu, Nyonya Achmad Sulaiman, ketua panitia pernikahan massal mengaku bahwa sebenarnya yang mendaftar mengikuti pernikahan massal berjumlah 30 pasangan. Namun, berdasarkan kelengkapan hanya terdapat 12 pasangan.
"Sebagian besar mereka tidak mampu membayar pernikahan secara legal di KUA. Sebab itu, kami dari Yayasan Amal Sahabat ingin meringankan beban mereka dengan memfasilitasi seluruh biaya pernikahan. Mulai dari pendaftaran di KUA, mas kawin, biaya prosesi pernikahan, make up, dokumentasi foto hingga biaya resepsi," ujarnya.
Acara ini digelar, tambah Nyonya Achmad, untuk memberikan kemudahan bagi anak-anak pasangan tersebut dalam memperoleh surat-surat seperti halnya akta kelahiran. "Karena untuk saat ini, akte kalahiran sangat berguna untuk mengurus pendaftaran sekolah," kata dia. (v2v) www.suaramedia.com