KIGALI (SuaraMedia News) – Rwanda memiliki rencana untuk mencegah terjadinya lagi genosida di tahun 1994, yaitu dengan menghubungkan 100,000 anak-anak ke dunia luar dengan laptop mereka sendiri.
Laptop yang oleh pemerintah Rwanda akan diberikan ke setiap anak Rwanda berusia antara sembilan hingga 12 tahun ini mencerminkan sebuah revolusi. Revolusi yang tidak hanya membayangkan transformasi dari sebuah masyarakat agraris miskin menjadi salah satu masyarakat paling berkembang di Afrika, tapi juga melihat teknologi sebagai alat untuk membantu membasmi ‘hantu-hantu’ negeri. Genosida yang terjadi di tahun 1994 menyebabkan banyak anak-anak kehilangan paman, bibi, dan kakek-nenek mereka. Selama 100 hari pembantaian, 800,000 etnis minoritas Tutsi dan moderat Hutu dibunuh untuk mewujudkan apa yang disebut ‘Kekuasaan Hutu’.
Rwanda bukan negara pertama yang disuplai dengan mesin XO dari organisasi One Laptop Per Child (1.4 juta telah diberikan kepada anak-anak di 35 negara termasuk Haiti, afghanistan, Brazil, dan Uruguay), namun negara itu jelas memberikan salah satu proyek paling menantang yang belum pernah ditangani oleh organisasi tersebut. Bagi David Cavallo, direktur proyek dan ‘arsitek belajar’ One Laptop Per Child (organisasi yang mengembangkan dan memasok komputer), itu juga menjadi salah satu proyek yang paling menyenangkan.
Pernyataan misi organisasi tersebut adalah menciptakan peluang pendidikan bagi anak-anak termiskin di dunia melalui laptop murah bertenaga rendah. Krisis listrik dan konektivitas internet yang rendah di Rwanda mendorong One Laptop Per Child untuk mengembangkan mesin yang lebih murah dan lebih tahan banting dengan konsumsi energi yang lebih rendah. Generasi komputer yang berikutnya akan dapat digunakan meskipun jika tidak ada listrik sama sekali.
Salah satu tujuan spesifik dari proyek ini adalah mendorong kohesi sosial. Pemerintah Rwanda terutama ingin mendorong perkembangan ekonomi yang cepat dengan mendidik anak-anak itu untuk menjadi melek-komputer, namun terdapat juga pemikiran bahwa laptop-laptop itu mungkin akan membantu memvaksinasi sebuah masyarakat yang masih menjalani pemulihan menyakitkan dari masa lalu genosidanya dengan membuka seluruh dunia ke sebuah generasi yang baru.
Seymor Papert, yang menjadi inspirasi untuk XO, adalah seorang pengungsi politik dari apartheid di Afrika Selatan. Ia melarikan diri ke Inggris, Perancis, hingga akhirnya Amerika di mana ia menjadi salah satu pendiri laboratorium Intelijensia Buatan di Institut Teknologi Massachusetts (MIT). Papert mengatakan bahwa anak-anak di semua masyarakat dapat menguasai keahlian berkomputer, bukan hanya pengoperasian sederhananya namun juga penulisan kode-kode komputernya. Proses belajar itulah yang ia yakini membekali anak-anak itu untuk tidak hanya hanya memahami komputer tapi juga dapat bertransformasi sepenuhnya bagaimana individu belajar melalui kehidupan, di dalam dan di luar ruang kelas, dan karena itu, mengubah masyarakat.
Di kantornya di kementerian, Charles Murigande, menteri pendidikan Rwanda, berbicara mengenai potensi ekonomi yang dimiliki negaranya jika telah menguasai teknologi kelak. Ia berbicara tentang menghubungkan Rwanda dengan dunia, bagaimana itu akan mengubah rakyat Rwanda, bahkan mungkin melindungi mereka.
”Saya percaya bahwa ini akan membantu kami membangun masyarakat yang lebih kohesif,” ujarnya. ”Kami tidak bisa menyembunyikan hal-hal buruk yang pernah terjadi di sini. Namun itu dapat membuat kami bercermin tentang siapa diri kami dan ingin menjadi siapa kami. Untuk memastikan bahwa hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.”
”Jika negara ini sebuah masyarakat yang tertutup, seperti dulu, tidak akan membutuhkan waktu lama untuk menciptakan kembali kondisi bagi genosida yang baru. Menjadi bagian yang terhubung dari dunia membantu membangun benteng terhadap risiko itu.”
Meski demikian, tidak semua orang antusias dengan potensi One Laptop Per Child di Rwanda. Dua dari dari donatur antar pemerintah mengatakan bahwa uang yang ada lebih baik digunakan untuk melatih para guru daripada komputer pribadi.
Yang lainnya, baik dari dalam maupun di luar Rwanda, mengkritik laptop sendiri, mengeluhkan bahwa sistem operasinya terlalu lamban dan terlalu mahal daripada yang dimaksudkan. Ada juga yang berargumen bahwa daripada mengembangkan programnya sendiri, proyek itu akan lebih menguntungkan jika menggunakan program yang telah ada secara komersial, seperti Windows misalnya.(rin/gd) www.suaramedia.com