View Full Version
Selasa, 20 Apr 2010

Hajar Tahanan Taliban Dengan Bot, Marinir Inggris Dipecat

LONDON (SuaraMedia News) – “Ini tidak adil,” kata seorang anggota Korps Marinir Kerajaan Inggris yang dipecat karena memukul seorang anggota Taliban dengan sepatu bot kemarin malam.

Sersan Marinir Mark Leader, 34, yang telah bertugas selama 18 tahun, memukul Mohammad Ekhlas, yang ia sangka hendak melarikan diri.

Ekhlas ditangkap bersama dengan sekelompok anggota Taliban saat “menggali” untuk meletakkan bom pinggir jalan di provinsi Helmand. Ekhlas kemudian dibebaskan oleh aparat Afghanistan.

Mark dinyatakan bersalah atas penyerangan dan diberhentikan dari satuannya dalam sebuah pengadilan militer di Bulford Camp, Wiltshire, awal bulan ini.

Terkait pemecatan itu, Mark mengatakan: “Saya telah kehilangan seluruh karir saya, hidup saya hancur, tapi pengebom Taliban yang ditangkap karena menanam bahan peledak untuk meledakkan pasukan kami dibebaskan.”

Mark Leader mampu masuk ke satuan elit dan masuk dalam pilihan Komando ketat sebelum ia berusia 17 tahun.

Dalam tugas, ia telah berkeliling dunia, mulai dari Kosovo hingga Kuwait, dari Dungannon hingga Diego Garcia, namun baginya tidak ada tempat yang lebih menantang dari provinsi Helmand, Afghanistan, tempat ia melakukan dua kali tur militer.

Di Helmand pula karir 18 tahunnya berakhir karena melakukan penganiayaan terhadap seorang tahanan Afghanistan.

Sersan Leader bersama dengan koleganya dari Komando 45, Kapten Jody Wheelhouse, diberhentikan dari Marinir Kerajaan Inggris karena telah memukul seorang tersangka Taliban dengan sepatu bot.

Dalam sidang dengar pendapat pengadilan militer, disebutkan bahwa Leader dan Wheelhouse masuk ke dalam sebuah tenda yang menjadi tempat Ekhlas ditahan. Mereka memukul kepala Ekhlas dengan sepatu bot. Pukulan itu mengakibatkan bibir Ekhlas terluka, dua buah giginya tanggal dan wajahnya memar.

Pengadilan tersebut menolak pembelaan Leader. Hingga saat ini, Leader tetap bersikeras bahwa Ekhlas hendak “melarikan diri.”

Meski Kapten Wheelhouse mengakui tuduhan penganiayaan, Sersan Leader membantahnya, ia mengklaim tindakan itu dilakukannya untuk “membela diri” dari “tahanan yang garang dan berbahaya”.

Bagi Leader, kekerasan itu berarti dia harus segera dipulangkan ke Inggris dalam keadaan yang paling memalukan. Sebelum dipulangkan, senjata, seragam berikut harga dirinya dilucuti dan mengenakan jumpsuit putih layaknya seorang penjahat.

Leader membandingkan trauma pemecatan dirinya dengan sebuah perceraian, namun dua minggu lalu ia mengatakan kepada surat kabar DailyMail bahwa ia tidak menyesali perbuatannya. “Jika saya kembali dihadapkan pada keadaan yang sama, saya akan melakukan hal yang sama dalam waktu cepat,” katanya.

Meski sudah bukan lagi anggota Marinir, Leader mengatakan bahwa karena ia bergabung sejak lulus sekolah, maka ia akan selalu menjadi seorang Marinir dan tetap setia pada Marinir.

Dia mengatakan: “Sejak hari pertama sekolah, (menjadi Marinir) adalah yang paling saya inginkan. Saya ikut pramuka, lalu menjadi taruna. Setelah lulus sekolah, saya langsing mendaftar Korps (Marinir) dan menjalani kegiatan perekrutan selama lima hari kemudian mengikuti Komando Marinir Kerajaan di Lympstone, Devon, selama 30 minggu.

“Itu adalah hal terkeras yang pernah saya lakukan, amat menuntut kekuatan fisik, namun nilai-nilai yang menjadikan saya seorang Marinir tetap tertanam dalam diri saya. Keberanian, rasa hormat, determinasi dan tidak egois. Saya bukan berasal dari keluarga militer, tapi kedua orang tua saya amat bangga.”

Meski telah berlatih bertahun-tahun dan kenyang pengalaman operasi, termasuk dua kali operasi militer di Irlandia Utara dan bahkan sempat mengisi posisi pemadam kebakaran, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Helmand.

“Afghanistan adalah lingkungan yang amat keras. Tur pertama saya pada 2006 hingga 2007 adalah pertempuran modern, dan kami terjun ke lapangan dalam kondisi dasar selama hampir enam bulan.”

“Kami merancang posisi tembak, menduduki bangunan, menciptakan pertahanan dan banyak kontak (senjata). Sejak saat itu, taktik yang digunakan Taliban berubah dari yang awalnya mencoba menyerang kami dengan IED, tapi (taktik baru itu) sama bahayanya.”

Kejadian itu berawal pada tanggal 19 Maret tahun lalu di dekat pangkalan Wishtan, Sangin. Empat orang pria terlihat berupaya menanam IED.

Patroli pasukan kemudian melakukan pengejaran, dan dua tersangka, salah satunya Ekhlas, ditangkap. Pria satunya ditembak mati.

Lima jam kemudian, Ekhlas yang dikekang dengan borgol plastik, ditahan satu mil jauhnya di Pangkalan Garis Depan Jackson, di mana Sersan Leader dan Kapten Wheelhouse bermarkas, tahanan tersebut kemudian ditempatkan di sebuah tenda.

Di tenda itu, tamtama Polisi Militer Kerajaan Inggris, Ellen Chun, memastikan Ekhlas mendapat makanan, ia juga memotret luka-luka sang tahanan. Borgol tahanan juga dilepas pada saat-saat tertentu agar Ekhlas bisa beribadah.

Sersan Leader mengatakan, dirinya dan Kapten Wheelhouse pergi ke tenda tersebut untuk memeriksa petugas jaga, namun ia mengaku tidak melihat ada penjaga. Menurut Leader, sang tahanan ada di tempat, namun borgolnya terbuka dan ia berdiri.

Lader mengatakan, “Saya langsung berasumsi bahwa dia sedang berusaha melarikan diri, saya mengambil senjata terdekat yang ada – sepatu bot – dan memukulnya dengan “kekuatan minimum” untuk menjatuhkannya.

Kemudian, Kopral Ellen Chun kembali ke tenda itu setelah mendapatkan kantong tidur untuk Ekhlas. Di dalam tenda, Chun mendapati dua orang pria tengah menganiaya sang tahanan yang berlumuran darah.

Ternyata, dua orang Marinir yan menjaga Ekhlas ada di dalam tenda tersebut, namun Leader tidak langsung melihat mereka ketika membuka tenda, sehingga ia berasumsi ada yang salah dan menyerang tahanan. (dn/ts/dm) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version