NEW YORK CITY (Berita SuaraMedia) – Di mana Faisal Shahzad? Masyarakat AS mengetahui jawaban dari pertanyaan itu pada tengah malam tanggal 3 Mei, ketika agen federal menarik tersangka pengebom Times Square dari pesawat tujuan Dubai di Bandara Kennedy. Sejak saat itu, Shahzad menghilang dari pandangan, seminggu berlalu tanpa muncul di persidangan dengan dakwaan senjata pemusnah massal dan teror. Tidak ada yang dijadwalkan untuk hari Senin.
Otoritas federal mengatakan Shahzad (30) dengan sukarela melepaskan haknya untuk muncul di persidangan awal dan setuju untuk menjawab sejumlah pertanyaan, kemungkinan tanpa didampingi pengacara dan saat berada dalam tahanan di sebuah lokasi rahasia.
Keputusannya untuk berbicara dan dialog tersembunyi dalam durasi yang tidak ditentukan – satu minggu dan masih berlanjut – dibolehkan oleh hukum. Tapi juga tidak umum bagi seorang tersangka tanpa kesepakatan permohonan resmi dengan jaksa penuntut.
“Kita biasanya tidak melihat seorang terdakwa bekerjasama secepat ini, karena kerjasamanya benar-benar satu-satunya modal tawar-menawar yang ia miliki,” ujar Robert Mintz, mantan jaksa penuntut federal yang kini membuka praktik pribadi.
“Otoritas akan terus menanyainya selama yang dibutuhkan untuk memperoleh informasi penting dan sensitif,” tambah Mintz. “Tapi mereka tidak akan menginterogasinya tanpa batas, bahkan dengan kerjasama yang diberikannya. Pada titik tertentu, dalam kepentingan pemerintahlah untuk menyediakan pengacara baginya dan menghadirkannya di pengadilan guna memastikan bahwa pembebasannya dilakukan dengan sadar.”
Shahzad, warga negara AS kelahiran Pakistan yang kembali dari kunjungan ke tanah airnya di bulan Februari, dituduh meninggalkan sebuah SUV berisi bom di Times Square pada tanggal 1 Mei. Meskipun peledak rakitan itu gagal meledak, tetap saja menyebarkan kepanikan dan memicu perburuan intens sebelum Shahzad tertangkap dua hari kemudian.
“Dialah sang syuhada sakti,” ujar pengacara hak-hak sipil Ron Kuby, yang mewakili beberapa terdakwa kasus terorisme dalam dua dekade terakhir. “Pertama kau melihatnya dan kemudian dia menghilang ke versi Manhattan dari Guantanamo, tapi dengan cuaca yang lebih buruk dan kopi yang lebih baik.”
Kuby mengatakan interogasi Shahzad hanya ditujukan untuk memperoleh informasi karena bukti-buktinya begitu kuat melawan dirinya sebelum dia tertangkap.
Ia mengatakan bahwa Shahzad mungkin tidak berpikir untuk berusaha memperoleh keringanan hukuman.
“Pengalaman saya dengan orang-orang ini, adalah mereka suka bicara. Tujuan mereka bukan untuk lari dari hukuman ketika tertangkap. Tujuan mereka adalah untuk gugur sebagai martir atau melakukan pembunuhan massal untuk alasan politik atau relijius.”
Terdakwa biasanya dihadapkan ke pengadilan dalam waktu satu atau dua hari penahanan untuk secara resmi menerima dakwaan, dan itulah perkiraan terhadap Shahzad: sebuah pernyataan tengah malam oleh jaksa penuntut yang mengumumkan penahanan mengatakan bahwa Shahzad akan muncul di pengadilan keesokan harinya.
Tapi dengan dibanjirinya gedung pengadilan federal dengan para reporter dan dikelilingi oleh kamera berita pada tanggal 4 Mei, tersiar kabar bahwa kemunculannya ditunda dalam waktu tak terbatas karena kerjasama yang ia berikan.
Sejak saat itu, kantor pengacara AS di Manhattan dan FBI langsung menolak untuk membahas keberadaan Shahzad atau kondisi penahanannya. Namanya tidak ada dalam basis data online Biro Penjara AS. Juru bicara Departemen Kehakiman Tracy Schmaler menolak untuk mengatakan di mana Shahzad ditahan.
Shahzad harus menandatangani surat pembebasan dan terus menegaskan bahwa dia mematuhinya untuk dapat melanjutkan kerjasama, ujar William H. Devaney, mantan jaksa penuntut federal.
“Itu adalah sesuatu yang dapat dilakukannya sendiri. Tapi waktu telah berlalu cukup lama sehingga jaksa penuntut mungkin ingin bermain aman dan memastikannya memiliki pengacara,” ujar Devaney.
Tuntutan kejahatan yang dipublikasikan minggu lalu memberikan beberapa petunjuk tentang kerjasama Shahzad. Dikatakan bahwa dia telah mengakui menerima pelatihan pembuatan bom di wilayah pedalaman Waziristan di mana Al Qaeda dan Taliban Pakistan beroperasi. Jaksa Agung Eric Holder mengklaim bahwa para penyelidik memiliki bukti Taliban Pakistan membantu memfasilitasi dan mendanai Shahzad. “Mereka sangat terlibat di dalam plot ini.”
“Jelas sekarang pemahaman kami bahwa Taliban Pakistan memiliki peran besar dalam insiden ini,” ujar penasihat kontraterorisme AS John O. Brennan.
Ken Wainstein, mantan pengacara AS di Washington yang mengepalai upaya antiterorisme Departemen Kehakiman dan menjabat sebagai penasihat keamanan dalam negeri di era Presiden Bush, mengatakan bahwa kerjasama tidak selalu berarti seorang terdakwa ingin mendapatkan keringanan hukuman.
“Terkadang, kerjasama dari seorang terdakwa didorong oleh rasa bangga atas apa yang ia perbuat, keinginan untuk membeberkan atau bahkan menyombongkan kejahatan yang ia lakukan.”
“Beberapa tersangka teror sejak 11 September telah dengan senang membicarakan aksi teroris yang mereka lakukan,” ujarnya.
Kerjasama tidak selalu berujung pada keringanan hukuman, ujarnya. Ia mengutip kasus seorang tersangka tiga pembunuhan yang melepaskan haknya dan menghabiskan beberapa hari memberikan serangkaian pengakuan pasca penahanan, hanya untuk didakwa dengan hukuman mati dan berakhir menerima hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Penahanan Shahzad memperbarui debat tentang apakah tersangka teror harus dibacakan hak-hak Miranda mereka. Kritikus mendebat bahwa otoritas harus memperlakukannya sebagai kombatan musuh dan tidak membacakan hak-haknya hingga penegak hukum memperoleh informasi yang diperlukan untuk mencegah serangan lain.
“Jika ia memperoleh pengacara, ia bisa berhenti berbicara dan itu akan mengakhiri semuanya,” ujar Annemarie McAvoy, profesor hukum di Universitas Fordham. “Untungnya, ia memutuskan untuk terus berbicara. Ia sebenarnya tidak harus.”
“Ini bukan kejahatan biasa. Ini adalah sebuah upaya yang diatur oleh kelompok asing untuk menyerang warga Amerika dan warga Amerika di tanah Amerika,” tambahnya. (rin/msn) www.suaramedia.com