WASHINGTON (Berita SuaraMedia) – Seorang wanita Yahudi kemungkinan akan menggantikan satu-satunya orang Protestan di Mahkamah Agung.
Kemungkinan kurangnya orang Protestan di pengadilan untuk pertama kalinya adalah sebuah isu yang kontroversial bagi beberapa pihak, namun seorang pria berkeyakinan San Angelo tidak merasa perlu ada tes litmus relijius untuk pegawai pemerintah.
“Jelas saya menginginkan seorang hakim yang memahami masalah seputar kebebasan beragama,” ujar Pendeta Taylor Sandlin dari Gereja Baptis Souhtland. “Tapi saya tidak akan secara spesifik mengaitkannya dengan keyakinan relijius yang mereka anut.”
Pengacara Umum AS Elena Kagan akan menduduki kursi Hakim John Paul Steven yang telah pensiun.
Jika Senat mengkonfirmasi pemilihan Presiden Obama atas Kagan, pengadilan akan terdiri atas tiga hakim Yahudi dan enam hakim Katolik.
Para cendekiawan tidak merasa bahwa kurangnya hakim Protestan untuk pertama kalinya dalam sejarah pengadilan akan membuat perbedaan, tapi itu bermasalah bagi Bob McCartney, pastor gereja Baptis Pertama di Wichita Falls.
McCartney mengatakan bahwa dia mendengar para pemimpin politik mengatakan berulang kali bahwa pengadilan harus terlihat seperti Amerika.
“Jika itu masalahnya, maka setidaknya harus ada satu Protestan dan satu Kristen Evangelis,” ujar McCartney.
Sandlin mengatakan bahwa tradisi keyakinannya memegang teguh pemisahan antara gereja dan negara, Yahudi dan Baptis seringkali memiliki sudut pandang yang sama pada posisi itu.
“Saya lebih baik melihat pertanyaan-pertanyaan tentang sudut pandang yang spesifik daripada tentang agama mereka,” ujar Sandlin.
Amerika telah berubah drastis ketika menyangkut soal agama dan politik, ujar cendekiawan.
“Saya rasa kita telah jauh dari hari-hari ketika kita dapat berasumsi bahwa hanya dengan mengetahui agama seseorang berarti kita tahu posisi apa yang akan mereka ambil dalam sejumlah persoalan hukum dan politik,” ujar Melissa Rogers, pengacara dan direktur Center for Religion and Public Affairs di Sekolah Keagamaan Universitas Wake Forest di North Carolina.
“Kita biasanya fokus pada kebaikan dari keputusan, bukan agama sang hakim,” ujar Rogers.
Banyak perpecahan agama yang dulu serius dalam sejarah Amerika – seperti permusuhan antara Evangelis dan Katolik Roma – telah terlampaui, ujar David Masci, seorang peneliti senior di Pew Forum on Religion & Public Life.
Katolik Konservatif dan Protestan Konservatif sekarang bersatu dalam isu-isu seperti aborsi, ujar Masci. Begitu juga dengan bersatunya kaum liberal dari berbagai agama.
Meski demikian, demografis Mahkamah Agung tidak mencerminkan wajah negara.
Protestan adalah mayoritas dengan 51% dari total populasi Amerika. Katolik Roma berjumlah 25%, dan Yahudi 1.7%.
Akankah ketiadaan Protestan mempengaruhi persepsi warga Texas Barat tentang keadilan pengadilan?
“Itu jenis pertanyaan yang berat karena jika kau keluar dan melakukan survei ke warga Amerika, ‘Berapa banyak nama anggota Mahkamah Agung yang dapat kau sebutkan?’ Semoga berhasil,” ujar Mel Hailey, kepala departemen sains Universitas Kristen Abilene.
“Jika seseorang bahkan tidak bisa menyebutkan nama para hakim, dia mungkin tidak bisa menentukan apakah mereka adil atau tidak dan juga tidak tahu apa agama mereka,” ujar Hailey.
Profesor hukum Universitas Texas Tech, Arnold Loewy, mengatakan bahwa dia bahkan tidak bisa melihat bagaimana agama bisa ada hubungannya dengan apa yang dilakukan oleh para hakim.
“Saya yakin tidak pernah ada pemikiran untuk memasukkan seorang Muslim atau Ateis ke Mahkamah Agung,” ujar profesor Loewy.
Agama seorang hakim bukan pertimbangan dari perspektif American Center for Law and Justice (ACLJ), sebuah organisasi Kristen Konservatif yang fokus pada hukum konstitusional, ujar pengacara ACLJ Jordan Sekulow.
“Jika kau akan mengkritik mereka, kritiklah mereka pada isu yang ditangani, pada filosofi mereka bukan keyakinan relijius pribadi mereka,” ujar Sekulow. (rin/rn) www.suaramedia.com