KANDAHAR (Berita SuaraMedia) – Ketika militer AS memimpin pembangunan pasukan besar-besaran di Kandahar, arena pertempuran paling penting di Afghanistan selatan di mana hasil perang luar negeri Amerika yang paling lama mungkin akan diputuskan, tugas terberat adalah mengetahui siapa yang bisa dipercaya.
Ketika skuadron pertama resimen kavaleri ke-71 tiba di provinsi itu bulan lalu, tentara Kanada memberitahu mereka bahwa sebagai seorang mantan Taliban, kepala desa Afghan, Gul Agha, adalah sumber intelijen terbaik mereka tentang bom-bom yang ditanam di jalan mereka.
Sayangnya, saat mereka berusaha membangun jembatan, Gul Agha berhenti.
“Sekarang kami tidak punya informan, kami masih mengusahakannya. Kami sudah ada di sini selama satu bulan,” ujar Letnan Joe Theinert, 24.
“Mereka akhirnya akan datang. Mereka tidak mengenal kami. Mereka tidak mempercayai kami ketika kami baru tiba,” ujarnya.
Pertempuran untuk Kandahar dianggap penting bagi strategi AS untuk mengakhiri konflik selama sembilan tahun melawan Taliban.
Pada bulan Desember, Presiden AS Barack Obama memerintahkan 30,000 tentara tambahan ke Afghanistan dan meningkatkan pengiriman pasukan NATO menjadi 150,000 personel di bulan Agustus.
Pasukan AS di Afghanistan naik tiga kali lipat sejak Obama menjabat di bulan Januari 2009, mencapai angka 94,000 tentara.
Namun dukungan publik menurun. Obama menginginkan pasukan AS untuk mulai meninggalkan negara itu mulai bulan Juli 2011 dan telah membatasi tujuan untuk mengamankan pusat-pusat penduduk dari Taliban dan mempersiapkan pasukan pemerintah Afghan untuk mengambil alih.
Doktrin perlawanan perlawanan berarti bahwa di distrik Dand, Kandahar, pasukan mengerjakan keamanan dan pembangunan dalam upaya untuk memenangkan kembali Afghan dan meninggalkan struktur yang aman.
Kapten AS Jon Villasenor, 36, mengatakan bahwa aspek terberat adalah mengetahui siapa yang bisa dipercaya dalam medan tempur dari perang gerilya.
“Kami tidak tahu siapa musuh kami,” ujarnya. “Saya tidak merasa seperti memerangi Taliban, saya merasa mungkin sedang memerangi unsur-unsur kejahatan atau kelompok-kelompok yang kehilangan haknya yang mungkin dipengaruhi oleh Taliban.”
“Saya berharap mereka memakai seragam dan plakat nama yang bertuliskan ‘musuh’. Setelah saya memahami motivasi dan ideologi mereka saya bisa menarget mereka. Tapi hingga saat itu tiba saya hanya meraba-raba sekitar,” ujarnya.
Saat Presiden Afghan Hamid Karzai mempertimbangkan untuk membuka dialog dengan Taliban sebelum “jirga damai”, atau konferensi nasional dari para pemimpin komunitas dan politik di awal bulan Juni, Villasenor mengatakan para pejuang tingkat rendah lebih termotivasi oleh uang dan rasa takut daripada ideologi.
Di desa Berlanday, Gul Agha mengatakan pada pasukan Amerika bahwa dia ada di pihak mereka, tapi setelah dilaporkan berhasil meloloskan diri dari dua kali upaya pembunuhan, berulang kali pemukulan, dan ancaman mati karena bekerja dengan pendahulu mereka, dia merasa cukup.
“Saya berjanji akan mendukung Amerika dan Kanada tapi saya belum melakukannya,” ujar Gul Agha pada Theinert dan sersan-sersannya saat mereka minum teh bersama-sama.
“Tidak ada keamanan, mereka menaruh alat peledak rakitan di desa ini, jadi saya harus berhenti,” tambahnya.
Meskipun musuhnya tidak jelas, kekerasannya tetap jelas.
Walau telah menjadi salah satu daerah teraman di sekitar kota Kandahar, Dand telah terkena lima bom dan enam lainnya ditemukan dalam tujuh minggu terakhir. (rin/dn) www.suaramedia.com