View Full Version
Selasa, 22 Jun 2010

Penembak Jitu Taliban Resahkan Langkah Tentara Inggris

KABUL (Berita SuaraMedia) – Para komandan perang di Afghanistan tengah melakukan penyelidikan karena jumlah pasukan mereka yang terbunuh karena tembakan senjata meningkat tajam. Mereka ingin tahu apakah itu ada hubungannya dengan pejuang Taliban yang lebih terlatih atau memiliki perlengkapan yang lebih baik yang menarget para prajurit dengan senapan penembak jitu.

Dalam empat bulan terakhir, jumlah prajurit yang terbunuh karena tembakan senjata kecil mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara kematian akibat peluru hanya mencatatkan 13 persen dari jumlah yang tewas di medan tempur pada 2009, angka tersebut naik hampir 40 persen dalam beberapa bulan terakhir.

Yang paling mengkhawatirkan adalah indikasi adanya proporsi bahwa kematian para prajurit adalah akibat tembakan tunggal yang akurat dari penembak jitu, atau bahkan penembak jitu yang terlatih, bukannya hasil "asal tembak" yang digunakan pasukan Taliban yang direkrut dari warga setempat.

Saat bom pinggir jalan terus menjadi momok dan merupakan pembunuh utama pasukan asing di Afghanistan, kematian-kematian terbaru bisa membuktikan adanya indikasi perubahan taktik gerilya. Sejak awal pertempuran di Helmand, Taliban berganti strategi dari pertempuran sengit menjadi menggunakan bahan peledak rakitan (IED).

Dalam kurun waktu sembilan bulan, tidak satu pun personel militer Inggris tewas karena tembakan senjata api, dan yang menjadi fokus adalah menjinakkan bahan peledak yang tersebar di seluruh penjuru povinsi selatan Afghanistan tersebut.

Namun, kematian Kopral Dua Taniela Tolevu Rogoiruwai dan Kingsman Ponipate Tagitaginimoce, dari Batalion pertama Resimen Duke of Lancaster di Nad Ali, pada hari Selasa lalu menjadikan jumlah total prajurit yang tewas karena tembakan senjata kecil menjadi 14 sejak buln Februari lalu, dari 38 orang yang tewas di medan perang.

Yang paling mengkhawatirkan, lima orang tentara Inggris tewas hanya dalam kurun waktu 10 hari di Sangin, menimbulkan rasa takut akan adanya penembak jitu yang tampaknya sengaja menjadikan pasukan Inggris sebagai sasaran tembak. Pada 6 Maret lalu, Liam Maughan, penembak peleton dari Batalion ketiga The Rifles, tengah melakukan pengawasan ketika terbunuh.

Para komandan Inggris menyelidiki peningkatan kematian karena senjata kecil, namun mengatakan masih terlalu awal menyebut hal ini sebagai perubahan taktik musuh yang signifikan.

Namun, Jenderal James Conway dari AS mengatakan kepada Komite Layanan Persenjataan AS baru-baru ini, "Saat ini, ancaman terbesar di Marjah yang mengakibatkan tewasnya prajurit kita bukan IED, melainkan sniper yang menembak dari jarak yang amat jauh dan bisa menembus perlengkapan pelindung kita, khususnya helm."

Ia mengatakan Korps Marinir menekan industri pertahanan agar merancang desain helm yang mampu menahan tembakan peluru tajam 7,62mm dari senapan serbu AK-47 yang banyak digunakan gerilyawan.

Para pakar militer menyatakan bahwa meningkatnya kematian tersebut bisa jadi merupakan indikasi perubahan taktik di masing-masing kubu, Inggris dan lawannya.

Gerakan Taliban, yang mengetahui fokus pasukan asing adalah mengatasi bom, mengambil posisi yang lebih agresif. Begitu juga pasukan Inggris, yang ingin berinteraksi dengan masyarakat setempat, melakukan lebih banyak patroli berjalan kaki dengan Tentara Nasional dan Polisi Afghanistan di kawasan-kawasan luar.

Baru-baru ini, Letnan Kolonel Nick Kitson, komandan 3 rifles, menulis di surat kabar The Independent bahwa perang tersebut dimenangkan dengan mengubah fokus dari lokasi yang lebih besar ke basis patroli lebih kecil dalam populasi sehingga dapat mengirimkan patroli dalam jumlah lebih sedikit.

Biasanya, pasukan yang bergerak ke daerah baru akan menghadapi lebih banyak tembakan, tapi hal itu berubah menjadi ledakan bom pinggir jalan yang semakin banyak.

"Keberadaan pasukan patroli darat, bukannya naik kendaraan, jelas membuat mereka tidak mudah terkena IED, tapi, hal itu membuat mereka rentan terhadap tembakan peluru," kata Kolonel Richard Kemp, mantan komandan pasukan Inggris di Afghanistan.

Ia menambahkan: "Bisa saja mereka (Taliban) menjadi lebih baik dalam menangkal tembakan senapan dengan sniper. Itu perputaran taktik. Mereka kembali menggunakan IED, tapi ketika kita menghadapi ancaman tersebut, mereka menanggapinya. Mereka masih enggan menghadapi kita secara langsung dalam pertempuran, tapi mereka bisa saja meningkatkan kemampuan menembak jitu.

Seorang juru bicara senior militer Inggris, Mayor Jenderal Gordon Messenger, menambahkan: "Benar bahwa ada proporsi lebih besar kematian akibat tembakan, tapi kita tidak boleh terburu menyimpulkan bahwa ini menandakan perubahan ancaman pada tahapan ini. Para komandan lapanga terus mengawasu ancaman yang mereka hadapi dan mengadaptasi teknik dan prosedur untuk melawan ancaman itu."

Profesor Chris Bellamy, seorang pakar pertahanan dari Cranfield University, mengatakan kematian yang terjadi memantik pertanyaan mengenai keberhasilan Taliban mendapatkan senjata yang lebih canggih dengan teleskop atau bahkan teropong infra merah.

"Afghanistan punya sejarah panjang memanfaatkan senjata jarak jauh melawan Inggris pada 1980-an dan melawan Rusia (Uni Soviet). Mendiang Profesor John Erickson yakin mujahidin menggunakan senapan Lee-Enfield. Itulah mengapa ada banyak sekali yang terbunuh dalam perang lawan Rusia," kata Profesor Bellamy.

Marinir AS di Marjah dan Nad Ali baru-baru ini mengungkapkan bahwa sejak Operasi Moshtarak dimulai, para penembak jitu telah menjatuhkan sebagian prajurit  mereka. Ada yang tewas karena tertembak di leher dari jarak 457 meter hingga 640 meter. Sementara itu ditemukan mayat seorang gerilyawan dengan senapan Lee-Enfield yang kuno namun kuat.

"Taliban punya sejumlah penembak jitu yang berpengalaman, tidak banyak, tapi kita tahu ada sebagian yang dilatih di Iran. Mereka punya orang-orang berkemampuan tinggi. Mereka tidak hanya duduk di atas pohon menunggu patroli lewat. Mereka merancang sejumlah insiden karena tahu reaksinya adalah kemunculan lebih banyak pasukan," kata Profesor Michael Clarke, direktur ilmu militer di Royal United Services Institute.

"Mereka ingin membalas Operasi Moshtarak. Mereka ingin membuktiokan mereka belum kalah. Mereka menjadi kekuatan yang efektif." (dn/id) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version