ISLAMABAD (Berita SuaraMedia) – Pakistan tengah mempertimbangkan sebuah hukum baru kontroversial yang akan membatasi liputan media atas pengeboman dan bisa digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan militer di jaringan televisi swasta negara tersebut.
Di bawah hukum yang baru, jurnalis TV bisa dipenjara hingga tiga tahun karena menyiarkan "apapun yang bersifat memfitnah organ-organ negara."
Rancangan Undang-undang (RUU) Otoritas Pengaturan Media Elektronik Pakistan itu memicu kemarahan dari kelompok media.
"Siapapun yang sedang menyembunyikan sesuatu akan dengan senang mendukung RUU ini," ujar Talat Hussain, salah satu pembaca berita TV paling terdepan di negara itu. "Mereka yang berada di kekuasaan punya banyak keuntungan darinya."
Pembatasan tersebut akan mencegah media menayangkan rekaman video dari pengebom bunuh diri, mayat-mayat korban, pernyataan dari pemimpin gerakan dan aksi-aksi lainnya yang "mempromosikan, membantu, atau bersekongkol dengan teroris atau terorisme."
Liputan langsung serangan militan akan dilarang sebagai "apapun yang bersifat memfitnah organ-organ negara," ketentuan yang bisa diinterpretasikan untuk mencakup hampir semua aktivitas pemerintah.
Pelaku akan menghadapi hukuman penjara maksimum tiga tahun dan denda hingga 10 juta rupee (138,000 dolar AS).
Agensi berita Dawn melaporkan bahwa petinggi militer mengusulkan pembatasan mereka sendiri, termasuk sebuah persyaratan bahwa semua cerita terkait militer harus dikonfirmasi dengan kantor pers militer.
Seorang juru bicara pemerintah, Farahnaz Ispahani, mendukung pembatasan itu. "Tidak ada negara beradab di dunia ini yang memberikan pembunuh, teroris, dan ekstrimis waktu tayang yang sama untuk menguraikan secara terperinci pandangan mereka," ujar Ispahani.
Menayangkan gambar-gambar brutal akibat serangan bunuh diri memberikan kekuatan psikologis pada ekstrimis dan menyebabkan kesedihan bagi warga Pakistan lainnya, ujar Ispahani.
Adnan Rehmat dari Intermedia, sebuah badan bantuan yang mempromosikan perkembangan media, menyebut perubahan itu menggelikan.
Usulan hukum baru itu bahkan lebih koersif daripada yang diberlakukan oleh Presiden Pervez Musharraf dalam keadaan darurat tahun 2007, ujar Rehmat.
"Hukum Musharraf adalah tentang aksi teroris, yang ini lebih jauh lagi," ujarnya. "Hukum ini berusaha untuk menjadikan kritik terhadap kehakiman, militer, dan apapun di bawah lingkup kepentingan nasional, sebagai wilayah terlarang."
Ledakan bom bunuh diri ganda di Lahore pada hari jumat (2/7) menewaskan lebih dari 40 orang dan melukai 175 lainnya di kompleks pemakaman orang suci dalam Islam.
Seorang petinggi kepolisian, Chaudhry Shafiq, mengatakan salah satu pengebom meledakkan diri di halaman kompleks makam sementara yang satunya memicu rompi peledaknya di ruang bawah tanah sebuah Masjid.
Ribuan orang ada di Masjid yang didedikasikan untuk Hazrat Syed Ali bin Usman, sufi dan cendekiawan Persia abad 11, pada saat serangan. (rin/smh) www.suaramedia.com