KABUL (Berita SuaraMedia) – Berlawanan dengan Perang Dunia II dan Operasi Badai Gurun Pasir – yang memiliki tujuan jelas – perang di Afghanistan menyerupai Perang Spanyol - Amerika dan Perang Vietnam, ujar Ivan Eland.
Dalam Perang Spanyol-Amerika, tujuannya berubah dari mengalahkan Spanyol dalam perang konvensional menjadi mengatasi gerilyawan Filipina dengan tujuan untuk secara imperialis menaklukkan kepulauan itu. Sementara Perang Vietnam, bertentangan dengan keyakinan umum, tujuan Lyndon Johnson tidak pernah untuk memenangkan perang, tapi untuk mengubah kondisi di medan perang untuk memaksa musuh bernegosiasi.
Dalam Perang Spanyol - Amerika, Amerika mampu mengalahkan rezim musuh dengan cukup mudah. Bagian susahnya muncul dalam menyingkirkan gerilyawan, yang yakin bahwa mereka dijanjikan oleh pemerintahan McKinley bahwa jika mereka membantu Amerika menyingkirkan Spanyol, Filipina akan memperoleh kemerdekaannya.
Kemerdekaan itu tidak terwujud dan membutuhkan waktu beberapa tahun bagi taktik kontra-perlawanan dan penyiksaan Amerika untuk mengatasi para gerilyawan.
Serupa dengan di Afghanistan, menjatuhkan Taliban hanya membutuhkan 700 Pasukan Khusus AS dan personel CIA yang memanggil serangan udara Amerika untuk membantu pejuang Aliansi Utara anti-Taliban Afghan di darat. Bagian sulitnya adalah memerangi perlawanan Taliban yang menggunakan taktik gerilya.
Di Afghanistan, seperti halnya di Vietnam, keraguan tentang kemenangan militer AS melimpah, menuntun pada eskalasi yang ditujukan untuk meraih keuntungan militer untuk negosiasi dengan Taliban.
Namun Presiden Barack Obama hanya memberikan waktu 18 bulan untuk eskalasi itu mencapai tujuannya, beserta tujuan-tujuan yang sama tidak realistisnya, melumpuhkan Al Qaeda dan melatih pasukan keamanan Afghan untuk beroperasi sendiri.
Untuk membuat militer AS memenuhi periode 18 bulan sebelum dilakukan penarikan, Obama harus mengabulkan peningkatan pasukan sebesar 30,000 tentara.
Batas waktu 18 bulan untuk memulai penarikan adalah dogma liberal yang naif dan standar hingga akan mengguncang pemerintah Afghan menjadi kekuatan pemerintah yang demokratis dan bersih yang bisa secara efektif memerangi Taliban.
Sebaliknya, Presiden Afghan Hamid Karzai telah memperjelas bahwa dia tidak berpikir AS bisa menang. Presiden Karzai berusaha mencapai kesepakatan dengan Taliban dan pelindung-pelindung mereka di kemiliteran Pakistan, dan bahkan mengancam akan bergabung dengan Taliban jika AS terus membunuh warga sipil Afghan.
Hampir sama buruknya, lonjakan pasukan untuk meraih keuntungan militer untuk negosiasi dengan Taliban telah gagal. Marjah belum ditaklukkan dan serangan di Kandahar ditunda secara signifikan.
Namun, premis bahwa Taliban akan bernegosiasi alih-alih menanti Amerika serupa dengan asumsi salah AS mengenai Vietnam Utara dalam perang di Asia Tenggara itu.
Seperti Vietnam Utara, Taliban Afghan ingin negaranya kembali dari tangan pasukan pendudukan asing. Terlebih lagi, Afghanistan telah terbiasa dengan perang yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun, membenci orang asing, dan tahu bahwa sejarah mereka mengindikasikan bahwa calon penguasa asing bisa ditunda – seperti yang sering mereka alami sebelumnya.
Faktor-faktor ini mengilustrasikan bahwa neo-konservatif AS sama naifnya jika mempercayai bahwa tanpa tenggat waktu 18 bulan AS akan sukses di Afghanistan.
Delapan belas bulan tidak cukup lama untuk melaksanakan strategi kontra-perlawanan menyeluruh yang bisa memenangkan hati dan pikiran rakyat Afghan.
Kelompok Taliban mungkin saja melakukan kekerasan, tapi di mata orang-orang Pashtun, kelompok dominan di Afghanistan, mereka adalah satu-satunya harapan.
Meskipun Hamid Karzai adalah orang Pashtun, dia dianggap sebagai boneka AS dan kelompok rival Uzbek dan Tajik. Karena itulah banyak rakyat Afghan yang mendukung Taliban. Faktor besar ini sering diabaikan oleh prediksi yang terlampau optimis untuk potensi pendamai AS di Afghanistan.
Satu-satunya solusi adalah bagi AS untuk meninggalkan Afghanistan. Berita baiknya, penarikan pasukan pendudukan AS dari tanah Afghanistan justru mungkin akan mengurangi serangan anti-terorisme di seluruh dunia.
Ivan Eland adalah Direktur Pusat Perdamaian dan Kebebasan di Independent Institute. (rin/meo) www.suaramedia.com