NEW DELHI (Berita SuaraMedia) – Hampir satu tahun setelah melewati tonggak batas hak atas undang-undang pendidikan membuat pendidikan wajib, mempengaruhi pengelola madrasah mempersiapkan untuk menentang undang-undang tersebut, mempertahankan undang-undang tersebut adalah sebuah ancaman bagi sekolah-sekolah religius Muslim.
Para pemimpin seminari dari semua sekte akan berkumpul di New Delhi pada akhir Juli untuk konsultasi dalam apa yang disebut dengan Jamiat Ulama India, badan ulama terbesar di negara tersebut. Beberapa dari kekhawatiran mereka kemungkinan sah, ahli legal mengatakan.
"Undang-undang tersebut hanya mengakui satu jenis sekolah dan hanya satu jenis pendidikan. Dan hal ini dapat digunakan untuk membuat madrasah menjadi tidak sah,"Mahmood Madni, pemimpin Jamiat Ulama India, mengatakan kepada kantor berita Hindustan Times.
Mantan wakil rector seminari Darul Ulum, Qari Mohammed Usman, juga mengistilakan undang-undang tersebut sebagai sebuah upaya untuk menambah "pintu belakang" menuju madrasah-madrasah.
"Hak untuk undang-undang pendidikan dapat menjadi goncang atas dua dasar," Faizan Mustafa mengatakan, wakil anggota dewan Universitas Hukum Nasional, Cuttack. Pertama, undang-undang tersebut terlihat sebagai melanggar hak untuk merancang institusi minoritas di bawah pasal 30 Konstitusi tersebut. Kedua, undang-undang tersebut menetapkan bahwa para orang tua harus membentuk 75 persen dari pengelola sekolah tersebut. Pelanggaran konstitusional lain menjamin bahwa memberikan institusi minoritas sebuah tangan bebas yang maya dalam menjalankan urusan-urusan mereka.
Menteri Sumber Daya Manusia Kapil Sibal, sadar akan ketidaksepakatan tersesbut, dikatakan menggagap sebuah amandemen terhadap undang-undang yang ada.
Para ulama Muslim secara rata menentang upaya-upaya rezim UPA sebelumnya untuk mengatur madrasah, dan mengarahkan mereka untuk mengajar subjek-subjek sekuler juga.
Bagaimanapun juga, Madni mengatakan pertemuan yang akan datang akan mengalamatkan masalah-masalah "mengembangkan sebuah consensus dantara ulama-ulama untuk memperkenalkan subjek-subjek tanpa paksaan dan juga mencari perubahan untuk melindungi madrasah."
Secara pendidikan, peringkat Muslim diantara komunitas yang paling dikesampingkan di antara komunitas di India. Banyak survey resmi dan dokumen-dokumen telah mengakui fakte tersebut, namun pernyataan tersebut begitu juga para pemimpin komunitas telah mlakukan hanya sedikit hal untuk memperbaiki situasi tersebut.
Terdapat beberapa alasan keterbelakangan pendidikan diantara Muslim. Sebuah proporsi besar Muslim India adalah keturunan kasta rendah yang menjadi muallaf, dan mereka tetap terikat kepada pekerjaan lama mereka yang sebagian besar sebagai pembuat barang tradisional, petani-petani kecil dan buruh-buruh agrikultur.
Pemimpin kunci, terutama sejumlah besar ulama, menanggapi dengan menyerukan para Muslim untuk menjauhkan diri dari sekolah-sekolah pemerintah dan mendirikan institusi alternatif milik mereka sendiri, dimana anak-anak Muslim dapat diajarkan dasar-dasar keagamaan mereka.
Sehubungan dengan hal ini, fakta yang tidak dapat dipungkiri terdapat diskriminasi institusional negara terhadap Muslim. Investasi negara dalam bidang pendidikan di daerah dominasi Muslim telah terlihat menyedihkan. Muslim juga secara tidak cukup menguntungkan dari berbagai macam skema yang dibuat pemerintah untuk pendidikan umum dan perkembangan ekonomi. (ppt/ht/im) www.suaramedia.com