JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Menteri Agama, Suryadharma Ali meminta agar persoalan arah kiblat jangan dipermasalahkan lagi, sehingga dilakukan secara ijtihad (kemampuan) masing-masing orang saja.
"Selama ini kalau kita sholat, tidak mungkin 100 persen sempurna dengan arah kiblat yang sebenarnya. Pasti ada bergesernya sedikit," katanya di sela-sela acara Isra` Mi`raj dan tahlilan tujuh hari wafatnya KH Idham Chalid, di Kantor DPP PPP, Jakarta, Sabtu malam.
Oleh karena itu, permasalahan arah kiblat yang sudah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak perlu dibahas kembali.
"Tidak perlu masjid-masjid yang ada di Indonesia dirombak. Ini akan memberatkan," ucapnya.
Sebelumnya, dalam fatwa yang dikeluarkan MUI Tanggal 22 Maret 2010 yakni fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat itu disebutkan bahwa Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Kabah adalah menghadap ke bangunan Kabah sedangkan Kiblat bagi orang yang sholat dan tidak dapat melihat Kabah adalah arah Kabah.
Dalam fatwa itu juga disebutkan bahwa letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka`bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Namun kemudian Ketua MUI Bidang Fatwa Ma`ruf Amin merevisi arah tersebut karena posisi negara Indonesia yang tidak berada di wilayah timur Ka`bah.
"Indonesia itu letaknya tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah kiblat kita juga tidak barat pas tapi agak miring yaitu arah barat laut," kata Ma`ruf.
Ketua MUI, Amidhan Shaberah meminta agar revisi arah itu tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat untuk melakukan penyesuaian arah masjid yang selama ini dibangun dengan konsep bahwa kiblat di arah barat Indonesia dan melakukan perombakan besar-besaran.
"Tidak mutlak arahnya, karena yang dituju bukan fisik Ka`bah tapi jihat (arah) Ka`bah, dan itu bisa berbeda-beda di setiap tempat. Di Jawa, arah kiblat ini berbeda dengan di Kalimantan misalnya," papar Amidha.
Sebelumnya, ralat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait arah kiblat rupanya belum tersosialisasi dengan baik. Sebagian muslim di sejumlah daerah masih salat menghadap ke barat bukan barat laut.
Seperti di Ponorogo, Jawa Timur. Barisan sajadah di salah satu masjid di kota itu masih mengarah ke barat. Memang sejak berabad-abad lampau arah salat bagi masyarakat muslim di Indonesia menghadap ke barat karena diyakini di arah itulah Baitullah Kabah berada. Ini dikuatkan fatwa MUI no 3 tahun 2010 tentang arah Kiblat yang diberitakan 22 Maret lalu bahwa kiblat muslim Indonesia menghadap ke barat.
Namun bulan ini MUI melansir fatwa baru yang menegaskan arah kiblat bagi muslim di Indonesia bukan persis ke barat melainkan ke barat laut. Artinya arah salat pun harus menyamping sekitar 25 derajat agak ke kanan dari posisi sebelumnya. Sebab jika ditarik garis dari Kabah di Kota Mekkah, Arab Saudi, posisinya memang tidak persis di sebelah barat Indonesia melainkan barat laut.
Tapi sepertinya ralat fatwa arah kiblat itu rupanya belum terosisialisasi dengan baik, termasuk di Kota Ponorogo sehingga menimbulkan kebingungan umat. Pengurus MUI Kabupaten Ponorogo tidak akan memaksakan fatwa tersebut untuk segera dilaksanakan.
Sebagian besar bangunan masjid di Tanah Air memang menghadap ke barat meskipun sudah ada juga yang menghadap ke arah barat laut. Terkait fatwa baru MUI tersebut memang tidak perlu membongkar bangunan masjid cukup dengan menggeser posisi sajadah sekitar 25 derajat ke arah barat laut.
Sementara itu, penyempurnaan arah kiblat saf shalat di masjid bisa dengan cara melihat matahari dan bayangannya sekitar 28-29 Mei pukul 16.18 WIB dan sekitar 15-16 Juli pukul 16.27 WIB setiap tahunnya, kata astronom Thomas Djamaluddin.
Pakar astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof. Dr. Thomas Djamaluddin yang dikonfirmasi dari Jakarta, Sabtu mengatakan bahwa pada tanggal dan jam tersebut tiap tahunnya merupakan tengah hari di Mekkah sehingga matahari tepat berada di atas kepala.
Pada saat itulah orang di Mekkah tidak melihat bayangan mereka sendiri karena matahari tegak lurus di atas mereka. Namun, di tempat lain di dunia yang bisa melihat matahari itu ada bayangan benda yang bisa menjadi pemandu arah kiblat, urainya.
"Pada saat itulah seolah kita sedang melihat lampu sangat terang di atas Masjidilharam dan garis bayangan kita menjadi petunjuk arah Masjidilharam. Maka, berdasarkan dalil syar`i, hadapkanlah wajah kita saat shalat ke arah itu. Itulah arah kiblat," katanya menegaskan.
Ia juga menekankan, meskipun ada perubahan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), arah kiblat Masjid Istiqlal Jakarta sudah benar, yaitu mengarah ke arah 25 derajat dari barat ke barat laut sehingga tidak perlu mengubah lagi arah saf shalatnya.
Bagi masjid lain yang ingin menyempurnakan saf dan arah kiblatnya bisa menggunakan fasilitas internet di www.qiblalocator.com, kata anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama itu.
Dikatakan, fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 pada bulan Maret 2010 hanya disempurnakan redaksionalnya dengan fatwa MUI Nomor 5/2010 pada bulan Juli 2010. Dalam fatwa Nomor 3/2010 disebutkan bahwa arah kibat umat Islam Indonesia ke arah barat.
"Dalam fatwa Nomor 5/2010 disempurnakan menjadi `arah kiblat umat Islam Indonesia ke arah barat laut dengan kemiringan bervariasi sesuai posisi masing-masing kawasan`. Inilah yang benar. Dengan demikian, tidak perlu ada penolakan," katanya menandaskan.
Dahulu pengukuran arah kiblat dianggap sesuatu yang sulit sehingga umat cukup diberi fatwa sederhana bahwa letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur Kakbah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Namun, kata dia, pada era informasi saat ini umat semakin cerdas dan mempunyai akses informasi yang sangat luas sehingga bisa mengetahui sebuah kekeliruan.
"Alhamdulillah, kemudian MUI merevisi fatwanya menjadi `ke barat laut dengan kemiringan bervariasi sesuai dengan posisi kawasan masing-masing`. Ini untuk memberi gambaran kepada awam bahwa arahnya di antara arah barat serong ke utara, bervariasi tiap daerah," katanya. (fn/a2nt/lp/klik video dari Kantor Berita Liputan 6) www.suaramedia.com