YERUSALEM TERJAJAH (Berita SuaraMedia) - Terjadi ketegangan yang tinggi di Yerusalem Terjajah setelah sekelompok Yahudi ekstrimis melakukan serbuan ke Masjid Al Aqsa pada Selasa (20/7) pagi.
Kepala Departemen Naskah Masjid Al AQsa, Najeh Bukirat mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ada tiga kelompok, termasuk belasan Yahudi ekstrimis membanjiri dan mengepung Masjid Al Aqsa dari Gerbang Maghareba dengan perlindungan penuh dari kepolisian Israel.
"Para ekstrimis itu kini berkeliaran di halaman Masjid guna memperingati apa yang mereka sebut dengan 'Penghancuran Kuil', dan mempersiapkan untuk perkumpulan yang lebih besar esok hari untuk merayakan peringatan ini dalam upacara keagamaan mereka."
Dia memperingatkan bahwa pemerintah zionis Israel telah sejak pagi menutup pintu Al Aqsa dan hanya memperbolehkan kelompok Yahudi ekstrimis memasuki wilayah suci tersebut, memulai kekacauan di sekitar Masjid.
Dalam perkembangan terkait, Pergerakan Jihad Palestina mengutuk keputusan Israel menyita properti yang hilang dari warga Yerusalem, menekankan bahwa aksi tersebut merupakan tindakan rasis yang berusaha meng-Yahudi-kan Kota Tua dan mengendalikan wilayah tersebut.
Gerakan itu mengatakan bahwa langkah Israel tersebut merupakan cara kotor untuk mendapatkan kendali penuh atas Yerusalem yang akan digunakan mereka untuk membangun lebih banyak pemukiman ilegal Yahudi.
Pemerintahan Israel sendiri menyebut langkah itu sebagai "Hukum Absen Properti", yang memberikan kekuasaan bagi Israel untuk menyita barang-barang yang ditinggalkan warga Yerusalem sejak perang pada 1948 silam.
Tak hanya melalui penjajahan secara langsung, upaya peng-Yahudi-an Yerusalem dan Palestina juga dilakukan dengan memaksa warga Arab di Israel agar berjanji setia dan mengakui adanya "negara" Israel.
Undang-undang ini akan menjadi salah satu dari serangkaian langkah-langkah yang siap untuk dipilih menjadi undang-undang pada hari Minggu oleh kabinet Israel, semua itu akan membuat lebih sulit bagi Palestina yang akan diberikan tempat tinggal permanen atau kewarganegaraan di Israel, seperti yang dibeberkan Anggota Knesset Palestina, Ahmad Tibi.
"Kita harus segera mendesak untuk menentang undang-undang ini," kata Tibi, menyebutnya sebagai suatu langkah yang menargetkan inti Palestina di dalam Israel, dan meminta organisasi-organisasi hak asasi untuk campur tangan untuk mencegah hukum tersebut lolos.
Tibi mengatakan bahwa inisiatif ini merupakan cerminan dari suasana umum di Knesset, "yang mewakili pemerintah koalisi paling ekstremis sejak berdirinya Israel," mencatat bahwa dengan jumlah seperti itu dalam pemerintah, para pemimpin akan "tidak menemukan kendala apapun dalam meloloskan keputusan." (ppt/pic/sm) www.suaramedia.com