View Full Version
Kamis, 22 Jul 2010

Ulama Muda Tumbuhkan Islam Dalam Budaya Barat

AMSTERDAM (Berita SuaraMedia) – Terjadi perubahan besar di kalangan Muslim Eropa. Perubahan itu melampaui larangan burqa di Perancis atau rencana untuk membangun Masjid terbesar di Eropa di Marseille. Perubahan itu melampaui pemilihan di Belanda bulan lalu, yang melipatgandakan jumlah anggota parlemen dari Partai Kebebasan anti-Islam.

Yang lebih penting adalah kelahiran Islam bentukan dalam negeri, sebuah pendekatan pribumi untuk mempraktikkan agama di Eropa masa kini.

Dan seorang imam Belanda memimpin perubahan itu. Dia sendiri adalah produk dari budaya campuran, Mohammed Cheppih dibesarkan di dalam keluarga pendatagn Maroko di Belanda. Mempelajari keyakinannya dari para tokoh masyarakat, Imam Cheppih, 33, meyakini bahwa sekaranglah saatnya untuk Islam bentukan dalam negeri yang sesuai dengan budaya adat istiadat dari negara yang dianggap rumah oleh dirinya dan banyak anak muda Muslim lain.

"Saya pribadi menolak agama yang dipromosikan oleh orang lain," ujarnya. "Secara kultural, bukan itu yang saya yakini."

Dia bukan orang asing dalam menantang pemikiran konvensional. Dalam pendidikan agamanya di Universitas di Arab Saudi, ide-idenya tentang peran Islam di Barat memicu kemarahan beberapa pihak. "Saya selalu diancam akan dikeluarkan dari sekolah karena mempertanyakan dan mendebat semuanya," ujar Cheppih.

Serupa, naskah relijius yang tersedia di Belanda biasanya diterjemahkan dari luar negeri, dengan sedikit relevansi ke kehidupan sehari-hari negara asalnya. Itu adalah kekurangan yang telah diidentifikasi oleh banyak kritikus. Komunitas Muslim di Eropa sering kekurangan imam terlatih dengan koneksi lokal yang bisa benar-benar melibatkan aspek Muslim dan Eropa dari sebuah komunitas, terutama generasi muda.

Seringnya, para imam adalah produk dari Masjid bersponsor asing atau siapapun yang ada untuk memimpin sholat. Seringkali pula sang imam hanya mewakili sudut pandang dari beberapa tetua dalam komunitas pendatang, seseorang yang ceramahnya mungkin mengasingkan atau meradikalisasi kaum muda.

Keadaan itu memotivasi Imam Cheppih untuk mendirikan Academica Islamica, sebuah pusat pelatihan untuk para pendidik dan pemimpin komunitas di Belanda, serta Masjid Polder, yang akan menyiarkan ceramah dan program pendidikan di radio, TV, dan internet mulai bulan September. "Kami kekurangan cendekiawan dan pemimpin akar rumput," ujarnya.

Praktik ini bisa memicu kritik dari ulama konservatif tapi Imam Cheppih bisa mengutip banyak preseden. Terdapat satu juta Muslim di Belanda yang menjalani kehidupan tak terpisah. Kenapa mereka harus mengubah sikap mereka ketika beribadah?

"Sangat aneh untuk menerapkan syarat pada orang-orang yang masuk ke sebuah Masjid," ujar Imam Cheppih. "Dulu, orang-orang masuk dari komunitas jalanan."

Masalah-masalah yang diangkat oleh sang imam dengan jamaahnya juga kontroversial. Hubungan suami istri sebelum menikah, homoseksualitas, narkoba, dan konsumsi alkohol dibahas. "Itu disebut realitas yurisprudensi, atau yurisprudensi dari minoritas dalam kasus-kasus ketika kaum Muslim adalah minoritas di sebuah negara non-Muslim."

Meski kontroversial, Masjid Polder tidak sendirian dalam aliran pemikiran ini. Salah satu cendekiawan terkenal hari ini, dan pengaruh besar bagi Imam Cheppih, adalah Tariq Ramadan, seorang profesor Studi Islam di Universitas Oxford yang menekankan perlunya "Islam di Barat".

Pemimpin spiritual Libanon yang baru-baru ini meninggal, Mohammad Hussein Fadlallah, adalah contoh lain dari cendekiawan yang mengaplikasikan "yurisprudensi realitas". Banyak dari orang-orang yang berkabung dalam kematiannya adalah kaum wanita Libanon yang hidupnya diubah oleh kepemimpinannya, yang membantu mereka menegosiasikan kehidupan di Libanon modern sambil tetap mematuhi ajaran agama.

Imam Cheppih bermaksud melakukan hal yang sama di Belanda, di mana kaum muda Muslim seringkali merupakan generasi pertama atau kedua pendatang. (rin/tn) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version