ISLAMABAD (Berita SuaraMedia) – Bagi para pencelanya, sekolah Islam Al Huda di seluruh Pakistan adalah pendorong Islam konservatif, terutama di kalangan elit sekuler. Tapi bagi ribuan orang yang mengikuti kelasnya di seluruh penjuru negeri, sekolah itu adalah berkah.
Ambil contoh Mariam Afzal, yang mengatakan pernah sangat egois dia akan menempati dua tempat parkir tanpa berpikir dua kali. Dulu, dia tidak tahu banyak tentang Islam di luar ritual dasarnya. Satu dekade kemudian, wanita berusia 30 tahun ini memuji Al Huda yang telah mengubahnya menjadi seorang pengajar Al Qur’an yang berjilbab.
"Sekolah itu benar-benar telah membantuku menjadi orang yang lebih baik," ujarnya.
Perubahan itu muncul saat ketaatan pada agama meningkat di banyak negara Muslim seperti Mesir dan Indonesia, terutama setelah serangan 11 September di AS menyoroti Islam dan pengikutnya.
Daya tarik Islam bagi elit Pakistan – elit yang sama yang memberikan Pakistan perdana menteri pertamanya, Benazir Bhutto – menjadi fokus menyusul upaya peledakan mobil di Times Square New York pada tanggal 1 Mei.
Calon pengebom dan kebanyakan puluhan lainnya yang ditahan berasal dari golongan menengah ke atas dan terpelajar dari negara-negara yang sebagian besar miskin.
Sang pendiri, Farhat Hashmi, memulai Al Huda di rumahnya dengan sekelompok kecil murid pada awal tahun 1990an.
Sekarang menjadi tempat bagi kaum wanita di Pakistan dan negara-negara lain, termasuk AS dan Kanada, di mana Hashmi kini tinggal.
Al Huda berbeda dalam beberapa cara dari kelompok-kelompok lainnya di Pakistan yang menawarkan pendidikan Islam.
Al Huda memberikan kurikulum yang terstruktur dan serangkaian program, nama merek dan administrasi yang kuat, dan dipikirkan dan dijalankan oleh kaum wanita sejak awal.
Di kampus utamanya di Islamabad, para wanita dalam jilbab dan gamis panjang seragam duduk berbaris dan mencatat saat guru memberikan pelajaran tentang arti Al Qur’am. Anak-anak berlari cepat melalui fasilitas bertingkat itu. Ada perpustakaan, kantin, pamflet, buku, kaset audio, dan bahkan seorang anggota berusia 80 tahun yang bertindak sebagai terapis.
Para wanita bisa mendaftar untuk kursus diploma penuh, yang diajarkan dalam bahasa Urdu dan Inggris, atau mereka bisa menjadi "pendengar", hanya mampir sesekali.
Jadwalnya yang fleksibel menarik minat wanita karir, ibu rumah tangga, dan gadis-gadis muda.
Murid-murid bisa tinggal di kampus, dan sebuah fasilitas yang lebih besar sedang dibangun di pinggiran Islamabad.
Pengurus Al Huda tidak pasti mengenai jumlahnya, tapi Faiza Mushtaq, yang sedang menulis disertasinya tentang gerakan itu, memperkirakan bahwa setidaknya 15,000 wanita telah menerima ijazah dari Al Huda di Pakistan sejak tahun 1994.
Biaya pendidikan hanya beberapa dolar untuk tiga bulan masa pelajaran, menurut Mushtaq, dan kurang dari itu bagi mereka yang tidak bisa membayar banyak. Sebagian besar pendapatan Al Huda berasal dari penjualan materialnya dan sumbangan.
Sekolah itu terutama menarik karena mengajarkan Al Qur’an dalam bahasa Urdu dan Inggris.
Para lulusan sering pulang ke rumah mereka di kota dan desa yang letaknya jauh dari Islamabad dan memulai cabang Al Huda mereka sendiri.
Kelas-kelas reguler Al Huda diadakan di puluhan cabang di Pakistan, banyak dari mereka yang dikelola oleh seorang alumni.
"Visi saya adalah agar Al Qur’an menjangkau setiap orang, karena itu adalah pesan Allah pada umat manusia," ujar Hashmi, 52, dalam sebuah wawancara terbaru ketika dia berkunjung ke Islamabad. "Al Huda adalah semacam program pemberdayaan wanita dan saya rasa pengetahuan adalah cara terbaik untuk memberdayakan mereka, terutama pengetahuan agama."
Pervez Hoodbhoy, seorang ilmuwan nuklir dan kritikus Islam, telah menulis tentang penyebaran konservatisme relijius di Pakistan dan menunjuk Hashmi sebagai salah satu kekuatan utamanya.
Burqa yang dulu langka di Islamabad sekarang memiliki toko khusus yang menjualnya, tulis Hoodbhoy. Dia mengatakan bahwa Al Huda melahirkan pola pikir segregasi dan kepasrahan bagi perempuan yang merobek-robek kain budaya Pakistan.
Melalui dakwah yang tak henti-hentinya dan taktik tekanan yang halus, Al Huda membuat mayoritas mahasiswa universitas memakai burqa, ujar Hoodbhoy. "Dibandingkan dengan mahasiswa jaman dulu, mereka kurang percaya diri, kurang mau bertanya di dalam kelas, dan sebagian besar menjadi pencatat pelajaran yang pendiam."
Orang-orang yang telah mempelajari Al Huda mengatakan bahwa sekolah itu mempromosikan pendekatan konservatif harfiah terhadap Al Qur’an, tapi tidak sekaku yang dibayangkan. Sementara kaum wanita diajarkan bahwa menutup rambut dan menghindari musik adalah apa yang dianjurkan oleh Islam, mereka juga didorong untuk mendapatkan gelar profesional.
Mushtaq, yang sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Northwestern University, Illinois, mengatakan belum pernah mendengar Al Huda memaafkan kekerasan, tapi kadang bisa mempromosikan intoleransi.
"Saya pernah mendengar beberapa diskusi kelas di mana mereka membicarakan bagaimana berurusan dengan kaum Kristen dan Hindu. Mereka tidak menyarankan kekerasan, tapi menganjurkan untuk menjauh dari mereka atau membuat mereka masuk Islam –sikap yang sangat, sangat merendahkan dan superior," ujar Mushtaq. (rin/abn) www.suaramedia.com