DIYALA (Berita SuaraMedia) – Para ulama di Diyala telah diperingatkan bahwa mereka bisa dipenjara jika menyampaikan ceramah yang menghasut kekerasan, sebuah langkah yang ditujukan untuk menenangkan provinsi Irak yang bergejolak, meskipun beberapa khawatir hal itu malah akan memanaskan ketegangan sektarian.
Tindakan keras terhadap penceramah anti-AS dipraksarsai oleh pemerintah provinsi dan didukung oleh tokoh-tokoh agama dan politik mainstream dari kedua aliran utama Muslim.
Namun, peraturan baru itu dikritik oleh beberapa warga Arab Sunni, yang mengatakan mereka takut komunitasnya akan menjadi sasaran dengan tidak adil.
Terlepas dari peningkatan keamanan, pemberontak dan milisi Syiah tetap aktif di Diyala, provinsi yang berbatasan dengan Iran, sebelah timur laut Baghdad.
Pembatasan baru terhadap ceramah tidak secara spesifik menyebutkan frase apa saja yang akan dianggap membangkang. Tapi peraturannya dipercaya luas berlaku pada nasihat apapun untuk kekerasan atau terorisme.
“Seorang ulama dianggap melanggar hukum jika dia menggunakan istilah-istilah Islam seperti jihad untuk membangkitkan serangan terhadap tentara Amerika, pasukan Irak, pemerintah, pejabat, dan rakyat,” ujar Letnan Kolonel Mohammed al Anbaki, seorang komandan polisi di provinsi tersebut.
Anbaki mengatakan ceramah akan dimonitor oleh pasukan keamanan Irak, termasuk petugas intelijen berpakaian bebas. Ulama-ulama yang dicurigai melanggar peraturan bisa ditahan dan diadili. Mereka yang terbukti bersalah bisa menghadapi hukuman hingga enam bulan penjara, ujar Anbaki.
Di bawah peraturan yang baru, pihak yang berwenang juga akan mengumpulkan database dari ulama dan Masjid di Diyala.
Asaad al Neimi, anggota dewan provinsi Diyala, mengatakan bahwa Masjid-masjid perlu dimonitor lebih dekat karena pengaruh mereka telah berkembang.
“Baru-baru ini, agama menjadi faktor terbesar yang mengatur perilaku populer. Orang-orang mengikuti ulama mereka, terlepas dari apakah mereka diberitahu hal yang benar atau tidak,” ujarnya.
“Para ulama memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pemikiran orang-orang, dan sebagian besar motif dari ulama-ulama ini tidak jelas.”
Diyala memiliki populasi campuran Arab dan Kurdi, dengan kedua aliran utama Muslim terwakili.
Sunni menguasai mayoritas kursi pemerintahan provinsi, sementara pasukan polisi didominasi Syiah. Pemerintah pusat Irak didominasi oleh partai Syiah.
Provinsi ini memili sejarah benturan antara pasukan keamanan dan warga sipil.
Ejekan sektarian juga sering disiarkan dari pengeras suara Masjid di provinsi, terutama di tempat-tempat aliran rival berkumpul dalam jarak dengar pengeras suara masing-masing.
Beberapa warga di Baquba takut jika pembatasan baru itu akan mengarah pada konfrontasi baru.
“Pemerintah pusat Syiah akan menahan ulama-ulama kami dengan alasan menghasut terorisme,” ujar Haitham Abdullah, seorang supir taksi Sunni. “Mereka menarget Masjid kami, ulama kami, dan mereka akan menarget kami juga jika kami menerima perintah ini.”
Mohammed Hussein al-Tamimi, seorang karyawan Arab Syiah di direktorat listrik, mengatakan dia merasa peraturan itu akan berlaku terutama pada ulama-ulama Arab Sunni, yang kemungkinannya lebih besar untuk menggunakan istilah-istilah seperti jihad.
“Saya khawatir bahwa perintah ini akan menimbulkan ketegangan sektarian,” ujarnya. “Ketika seorang ulama Sunni ditahan, kalangan Sunni akan membenci Syiah dan ini akan membuat situasi lebih buruk bagi kami.”
Sheikh Muntasar al-Majmaei, seorang penceramah Sunni di Masjid Katoon di Baquba, mengatakan bahwa pemerintah Diyala akan menghadapi perlawanan jika menerapkan pembatasan itu pada ceramah.
“Jihad adalah kewajiban setiap Muslim,” ujarnya. “Pemerintah setempat takut pada kata ini.”
“Seorang penceramah tidak bisa menyebut dirinya penceramah jika dia tidak mengecam pendudukan (oleh militer Amerika) dan menggambarkan jihad sebagai kewajiban agama.”
Tapi sebagian besar pemimpin di provinsi bersikukuh bahwa peraturan baru itu adil dan diperlukan.
“Resolusi ini dikeluarkan atas konsultasi dengan kami,” ujar Sheikh Usama al Jabury, satu dari tujuh orang yang bertanggung jawab atas wakaf Sunni, sebuah badan yang mengawasi ulama dan Masjid di provinsi tersebut.
Dia menambahkan bahwa peraturan itu akan menyediakan kerangka hukum yang akan membantu mencegah penangkapan sewenang-wenang para ulama Sunni dengan tuduhan menghasut terorisme.
“Peraturan ini berlaku bagi kedua aliran dan tidak ada seorangpun yang bisa ditahan tanpa bukti,” ujarnya.
Ziad al Khayali, seorang anggota Kurdi dewan provinsi, mengatakan bahwa ulama-ulama Arab Sunni tidak akan sendirian dalam menghadapi penyelidikan di bawah peraturan baru itu.
“Kami tahu bahwa pengikut ulama Syiah anti-Amerika, Muqtada al Sadr, sudah menghasut kekerasan melawan pasukan AS, jadi peraturan yang sama akan diterapkan pada Masjid mereka,” ujarnya. (rin/meo) www.suaramedia.com