WASHINGTON (Berita SuaraMedia) - Kehidupan ulama Muslim yang menyerukan panggilan sholat adalah topik dari sebuah drama yang telah melakukan perjalanan keliling beberapa negara Eropa dan menampilkan 30 "muadzin" sebenarnya dari Mesir yang menawarkan potret dari kehidupan mereka dan mengumandangkan "adzan" di atas panggung.
Dalam Radio Muadzin, sebuah drama dokumenter satu adegan oleh sutradara Swiss Stefan Kaegi, 30 Muadzin dari Mesir mengatakan kepada para penonton tentang keluarga mereka dan lingkungan mereka dan menunjukkan kepada mereka bagaimana mereka sholat dan menampilkan ritual penyucian diri (wudhu).
Drama tersebut dimulai dengan peran protagonis dalam keidupan nyata yang mengumandangkan adzan, seruan untuk sholat, dengan menyerupai sebuah orkestra, seseorang mengatakan sebuah baris kalimat kemudian yang berikutnya mengatakan baris kalimat selanjutnya dan seterusnya. Kemudian setiap dari mereka mulai menceritakan ceritanya.
Gagasan dari drama tersebut datang kepada Kaegi ketika ia mengunjungi Mesir dan mendengarkan panggilan sholat yang tumpang tindih dan menggema di ibu kota negara tersebut selama lima kali dalam sehari dan memutuskan untuk mentransfer penampilan tersebut ke dalam teater, manajer produksi Juliane Männel mengatakan.
"Kaegi membawa gagasan tersebut kepada Kementerian Wakaf Islam dan Al-Azhar," wanita tersebut mengatakan kepada kantor berita Al-Arabiya. "Kedua pihak memberikan persetujuan mereka dan memberikan Kaegi ijin untuk memilih 30 muadzin sendiri."
Männel menambahkan bahwa Kaegi memastikan untuk mengambil keputusannya sebisa mungkin berbeda sehingga ia memilih muadzin yang muda dan yang tua, yang jangkauan usianya dari 40 sampai 60 tahun. Ia juga memastikan bahwa mereka memiliki cara yang berbeda dalam mengumandangkan adzan sehingga keanegaragaman tersebut akan direfleksikan di atas panggung.
"Ia ingin membuat mereka mewakili semua adzan yang bermacam-macam sehingga penampilan tersebut akan menjadi sama bersemangatnya dengan kenyataan dan akan memberikan para penonton perasaan nyaman yang sama dengan yang dirasakan Muslim ketika mereka mendengarkan adzan.
Sebelum menulis naskah drama tersebut, Kaegi mengadakan wawancara dengan para muadzin yang ia pilih dan mendengarkan detil tentang kehidupan mereka dan pekerjaan mereka.
"Orang-orang tersebut mencintai pekerjaan mereka dan drama ini adalah sebuah penghargaan untuk mereka," ia mengatakan kepada kantor berita Al-Arabiya. "Saya ingin menunjukkan betapa terhormatnya mereka dalam masyarakat Muslim."
Abdoel Moeti Hindawi, salah satu dari para muadzin yang ambil bagian dalam drama tersebut, menunjukkan kebahagiannya bahwa ia mempertunjukkan kepada penonton Eropa bahwa Islam bukanlah tentang kekerasan.
"Saya bukan seorang aktor," ia mengatakan kepada Al-Arabiya. "Saya di sini melakukan pekerjaan saya yang sesungguhnya dan mempertunjukkan orang-orang bahwa Islam adalah sebuah agama perdamaian dan toleransi."
Drama tersebut dipersiapkan di dalam sebuah Masjid dan para muadzin berdiri dengan kaus kaki mereka di atas karpet berwarna-warni dengan dekorasi Islami.
Drama tersebut dipertunjukkan di lebih dari 30 teater di Eropa. Pada 2010, drama tersebut dipertunjukkan di Teater Bellevue di Amsterdam sebagai bagian dari edisi ke-61 Festival Seni Belanda. (ppt/aby) www.suaramedia.com