COLOMBO (Berita SuaraMedia) - Gara-gara Duta Besar Indonesia Djafar Husein menyampaikan pesan khusus HUT Kemerdekaan RI ke 65 di stasiun televisi Srilanka, Rupavahini, Kedutaan Besar Kanada dan Amerika Serikat mengeluhkan perlakuan serupa tak mereka peroleh dari Rupavahini.
"Mereka bertanya kepada kami, mengapa mereka tak mendapatkan kesempatan sama dengan Indonesia," kata Kepala Sri Lanka Rupavahini Corporation, Sarath Kongahage, pada resepsi HUT Kemerdekaan RI di Wisma Duta, kediaman Dubes Indonesia di Colombo, Selasa malam.
Selain Rupavahini, Djafar Hussein juga mengisi salah satu acara bincang-bincang populer di Srilanka yang diasuh presenter Neidra Williams, "Small World," di stasiun "Prime TV."
Di "Prime TV", Djafar bahkan berbincang sekitar satu jam bersama mengenai banyak hal, dari soal-soal berat sampai hal-hal ringan, termasuk nasi goreng yang juga populer di Srilanka.
Pada acara resepsi HUT Kemerdekaan RI di Wisma Duta, Djafar mengutarakan latar belakang para pendiri bangsa memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia yang efektif mempersatukan berbagai suku bangsa yang berbicara dalam ratusan bahasa berbeda.
Neidra tampak terkejut mendapati informasi ini. Srilanka sendiri, seperti diketahui orang kebanyakan, terjerembab dalam konflik diantaranya karena perbedaan bahasa.
Djafar mengaku pidatonya yang mengupas bahasa sebagai kunci pemersatu bangsa ini dipuji dua duta besar yang menghadiri resepsi HUT Kemerdekaan RI itu.
"Salah satunya Dubes Bangladesh (untuk Srilanka). Dia menyebut pidato saya a good speech (pidato yang bagus)," aku Djafar Husein, merujuk isi pidatonya yang memesankan perlunya memuliakan kaum minoritas.
Resepsi itu sendiri dihadiri oleh lebih dari 20 duta besar penting, diantaranya Dubes Amerika Serikat, Dubes Kanada, dan Dubes Inggris.
Selain itu, pemerintah Srilanka tampak memberi perhatian lebih kepada acara ini dengan mengutus empat menteri termasuk menteri perindustriannya, dua deputi menteri, dan dua kepala staf angkatan bersenjata. "Tentu saja mereka datang ke resepsi ini karena Indonesia, bukan karena saya," tegas Djafar.
Sementara itu, bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan dengan penuh sukacita. Berbagai rangkaian kegiatan mulai dari renungan malam di taman makam pahlawan hingga mengikuti detik-detik pembacaan teks proklamasi, serta aneka acara digelar untuk memeriahkan dirgahayu RI.
Pertanyaannya, apakah dengan cara seperti itu bangsa ini menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah mengantarkan ke gerbang kemerdekaan? Ironis, faktanya bangsa ini belum memberikan penghargaan yang layak bagi mereka yang berjasa. Lihat saja atau silakan datang ke Komplek Asrama Badak Putih II Teplan dan Asrama Denpom III Siliwangi Lawang Gintung.
Di sana mantan para pejuang yang seharusnya di akhir masa hidupnya tinggal memikirkan untuk beribadah malah mereka terancam. Ratusan veteran pejuang kemerdekaan ini tempat tinggalnya yang ditinggalinya sejak puluhan tahun akan segera di eksekusi.
Kini para veteran kembali berjuang melawan musuhnya. Tapi musuh yang dihadapinya kali ini adalah bangsanya sendiri, alias pemerintah. Saat ini para veteran ini melakukan banding untuk menolak eksekusi. Lalu dimanakah penghargaan bagi veteran ini?
Nyawa dan pengorbanan selama berjuang melawan penjajah sudah tidak berarti. "Kami tidak membutuhkan penghargaan yang diberikan pemerintah. Yang kami butuhkan adalah tempat tinggal ini," ujar Mayor Purn Supakat. Dia menambahkan, "Darah, nyawa teman-teman kami yang tertembak biarlah untuk cucu-cucu kami bukan untuk bangsa ini." (fn/ant/ok) www.suaramedia.com