View Full Version
Senin, 30 Aug 2010

Anti-Pusat Islami New York Picu Radikalisme Remaja

WASHINGTON (Berita SuaraMedia) - Sentimen anti-Muslim terpampang bulan ini, dan mahasiswa Islam di Amerika menyuarakan perhatian mereka bahwa serangan terhadap agama mereka dapat membuat orang menjadi radikal.

Walaupun mahasiswa Muslim belum makan sejak fajar, sesuatu selain makanan ada di pikiran mereka saat mereka mengisi piring mereka dengan ayam tandori, buncis dan nasi di Universitas Amerika di Washington untuk berbuka puasa.

Selama berminggu-minggu, agama mereka diserang oleh beberapa orang yang menentang rencana pusat Islam dekat Ground Zero di kota New York.

Tiap kali mereka menyalakan televisi, ada laporan baru tentang sentimen anti-Muslim: pembangunan Pusat Islami ditentang ratusan mil dari Ground Zero; seorang pastur Florida bersumpah akan membakar salinan Al-Qur'an untuk menandai peringatan 11 September 2001; sebuah polling menunjukkan bahwa 43 persen warga Amerika memiliki pandangan kurang menyenangkan terhadap Muslim. Dan minggu lalu, seorang supir taksi Muslim ditusuk di New York.

Semua itu menunjuk pada permusuhan yang memuncak bahwa banyak mahasiswa-mahasiswa ini nyaris tak ada di sana dan bahwa pemimpin agama dan politik khawatir hal ini dapat memenuhi alienasi dan radikalisme diantara beberapa remaja Muslim Amerika.

Di Universitas Amerika, hanya sedikit bukti bahwa, walaupun para mahasiswa yang berkumpul untuk berbuka minggu lalu, serangan balasan sudah mulai bergemuruh, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, saat untuk berpuasa, beribadah dan melakukan perenungan.

"Kami sudah membicarakan soal ini," ujar Farah Mohamed, 19 tahun, mahasiswa tingkat dua yang tumbuh di Massachusetts, dengan menambahkan bahwa pembicaraan tersebut sudah menyerap seluruh lapisan di dunia mereka -- dari diskusi kelas hingga perbaruan status Facebook.

Ia dan banyak teman sebayanya tidak pernah merasa seperti orang asing, tidak juga dalam hari-hari penuh ketegangan setelah tragedi 11 September 2001. dengan kaus scoopneck dan celana jins skinny mereka, mereka adalah bagian dari campuran etnisitas dan agama yang berbaur dalam kebanyakan kampus-kampus Amerika. Bagi mereka, saran apapun yang menyatakan bahwa menjadi Muslim itu tidak cocok dengan menjadi warga Amerika itu sangat mengganggu.

"Adik laki-laki saya datang suatu malam dalam keadaan sangat gelisah," ujar Asma Mian, seorang junior berusia 20 tahun dari Potomac, Maryland. Ia berhadapan dengan seorang pria di kereta bawah tanah yang mencela rencana pusat komunitas dan Masjid di Lower Manhattan.

Hal ini membuat Mian bingung, ia jarang melihat adiknya yang berusia 17 tahun itu sangat emosional. "Ia jarang terlibat dalam politik. Ia belum terlalu agamis atau apapun," ujarnya, menambahkan bahwa orang seusianya bisa cepat melakukan serangan. Mereka "merasa seolah mendapat serangan personal. Hal ini lebih menyinggung perasaan dibanding kalau Anda lebih tua."

Pemimpin muda dan ahli terorisme memperingatkan bahwa kemarahan semacam itu dapat mendorong beberapa Muslim muda jatuh ke tangan ekstrimis yang terkait dengan beberapa bagian teroris. Dalam usaha perekrutannya, beberapa pihak memanfaatkan nama Islam.

Pihak paling ribut yang menentang pusat Islam di kota New York "Tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan," ujar Yahya Hendi, seorang ustadz di Universitas Georgetown. "Mereka meradikalkan orang."

Brian Fishman, seorang ahli anti-terorisme di Yayasan Amerika Baru, mengatakan bahwa mayoritas luas Muslim Amerika tidak setuju dengan Anwar al-Awlaqi dan tidak akan teradikalisasi oleh perdebatan tentang Pusat Islam itu.

"Masalahnya bahwa ini hanya butuh satu atau dua hal," ujar Fishman. "Mereka mendapatkan beberapa orang untuk melakukan sesuatu yang gila, dan itu akan memunculkan serangan balasan dan memperkuat lingkaran pemisahan."

Madiha Nawaz, 20 tahun, seorang senior di Universitas Amerika yang lahir di Pakistan dan besar di Fairfax, Virginia, menyuarakan perhatian yang sama. Jika para demonstran berhasil menghentikan pembangunan pusat Islam, ujarnya, hal ini bisa membuat Muslim muda semakin merasa termarjinalkan.

"Hal ini bisa mengarahkan orang menjadi lebi h mengasingkan diri," ujarnya, "dan ini dapat mengarah pada terorisme dari dalam negri sendiri."

Umat Muslim sudah lelah disatukan bersama dengan minoritas yang melakukan aksi terorisme, papar Tanim Awwal, 20 tahun, presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim di universitas tersebut.

Awwal, sambil memegang Al-Qur'an bersampul biru, mengatakan ide bahwa Muslim sebagai "yang lain" meliputi bukan hanya ekstrimis tapi juga mereka yang ada di politik sayap kanan Amerika Serikat. "Jika Anda hendak mengatakan bahwa kami terpisah dari orang-orang, Anda akan melakukan yang diinginkan orang-orang radikal -- di dua sisi."

Tapi banyak Muslim muda yang berbesar hati lewat pernyataan dukungan dari orang-orang seperti Presiden Obama, Walikota New York Michael Bloomberg dan pembawa acara "The Daily Show", Jon Stewart.

"Sangat membantu ketika Anda tahu ada orang-orang yang mendukung Anda. Bukan karena mereka memiliki agama yang sama dengan Anda, tapi hanya karena mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah," ujar Adam Sbita, 21 tahun, seorang junior di Universitas George Mason yang tumbuh besar di Falls Church, Virginia, dan mengenakan gamis tradisional, sebuah tunik panjang dari kampung halaman keluarganya di Libya. Dalam 10 atau 15 tahun, ia menambahkan, ia berharap perdebatan semacam itu hanya akan menjadi cerita masa lalu.

Kenyataannya, banyak Muslim memandang kontroversi saat ini sebagai kesempatan untuk menegaskan keberadaan mereka sebagai warga Amerika, seperti yang dilakukan minoritas lain di masa lalu.

"Sekarang hal ini lebih ke arah persoalan hak warga sipil dibanding yang lain," ujar Adeel Zeb, mantan ustadz Universitas Amerika dan pendiri Yayasan Deen untuk Kehidupan Kampus Muslim. "Muslim muda Amerika menjadi semakin bangga sebagai Muslim karena seluruh kontroversi ini. Hak sipil Anda sedang diuji dalam skala nasional."

Walaupun Zeb mengatakan ia dapat melihat kontroversi ini berpotensi membantu para ekstrimis, ia mengatakan hal ini juga dapat membantu Muslim muda bersatu dan membangun jembatan yang lebih kuat dengan non-Muslim.

"Hal ini sungguh menyentuh hati warga Muslim muda Amerika," ujarnya.

Setelah acara buka puasa, Nawaz merenungkan tentang momen ini dalam sejarah Muslim Amerika.

"Anda menyaksikannya di Topeka, Kansas, Anda menyaksikannya dalam Brown lawan Dewan Pendidikan," ia mengatakan. "Mungkin ini saatnya untuk kami sekarang. Mungkin inilah saatnya bagi Muslim-Amerika untuk menggabung identitas mereka yang diberi tanda hubung." (raz/st) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version