View Full Version
Rabu, 01 Sep 2010

Diskriminasi Pekerja Muslim di Pabrik Pengepakan Daging

OMAHA, Nebraska (Berita SuaraMedia) – Pemerintah federal mengatakan bahwa pabrik pengepakan daging JBS Swift & Co. di Nebraska harus memberikan waktu untuk sholat bagi karyawan Muslim dan tidak membalas para pekerja yang meminta ijin untuk melaksanakan sholat.

Komisi Peluang Kerja Setara mengajukan gugatan mewakili 80 lebih Muslim Somalia.

Ratusan pekerja Muslim mogok kerja di pabrik Grand Island, Nebraska, pada bulan Ramadhan 2008, mengatakan bahwa mereka menginginkan waktu untuk sholat Maghrib dan berbuka puasa. Manajemen pabrik kemudian menyesuaikan jadwal kerja para karyawan keesokan harinya.

Karyawan non-Muslim melancarkan protes tandingan dan manajemen pun menghentikan akomodasi itu, menyebutnya sebagai perlakuan khusus yang akan membebani tenaga kerja lainnya. Manajemen lalu memecat 86 pekerja Muslim karena mogok kerja, tapi berdalih bahwa pemecatan itu tidak ada hubungannya dengan agama.

Puluhan pekerja Muslim Somalia kemudian mengajukan gugatan hukum melalui Komisi Peluang Kerja Setara setelah perselisihan itu.

Gugatan hukum dari Komisi itu menyebutkan bahwa JBS Swift & Co. gagal membuat akomodiasi relijius yang beralasan, melanggar hak sipil pekerja, sejak bulan Desember 2007.

Pengawas pabrik dan karyawan non-Somalia juga melecehkan para pekerja Muslim, mengganggu mereka saat sholat, menolak untuk memberi mereka ijin sholat, memberi mereka julukan-julukan, di antara beberapa hal lainnya.

Ketegangan mengenai waktu sholat di pabrik Grand Island sudah terbangun sejak tahun 2007. Itu ketika Afrika Timur mulai mengisi kekosongan yang tertinggal setelah razia imigrasi tahun 2006 membersihkan pabrik itu dari para pekerja Hispanik ilegal.

Situasi itu mengemuka di bulan September 2008 saat para pekerja Muslim itu melakukan mogok kerja.

Banyak dari pekerja Somalia yang merupakan penganut Islam yang ingin melaksanakan sholat lima waktu dan sedikit dari mereka yang bisa berbahasa Inggris. Kontrak serikat yang ada telah dinegosiasikan sebelum Muslim Somalia menjadi bagian penting dari tenaga kerja pabrik, jika kebutuhan relijius tidak menjadi masalah, dan waktu istirahat diberikan menurut jadwal yang ketat untuk memastikan produksi terus-menerus dan mencegah pekerja dari bekerja terlalu lama tanpa istirahat.

Awalnya, para pekerja Somalia menunaikan sholat di waktu istirahat dan saat pergi ke toilet. Beberapa dari mereka kemudian dipecat karena "mengambil waktu istirahat secara ilegal" yang mereka gunakan untuk sholat. Rima Kapitan, pengacara yang mewakili pengepak daging Muslim di Grand Island. "Mereka tidak seharusnya disuruh memilih antara pekerjaan mereka dan agama mereka." Somalia ditawari untuk  memberi potongan gaji untuk setiap waktu sholat yang digunakan, tapi para pengawas berpendapat bahwa mereka tidak bisa kehilangan ratusan tenaga kerja sekaligus, bahkan jika interupsinya kurang dari 5 menit.

Pekerja pabrik, Fidencio Sandoval, warga negara Amerika naturalisasi kelahiran Meksiko, memiliki keberatan yang sopan. "Saya cukup mengagumi semua upaya mereka untuk menaati ajaran agama tersebut, tapi kadang kau harus beradaptasi dengan tempat kerja." Seorang imigran dari El Salvador kurang simpatik. "Mereka selalu pergi ke kamar kecil," ujar Jose Amaya, "Tapi sebenarnya mereka beribadah dan kami harus mengerjakan tugas mereka."

Raul Garcia, seorang pengepak daging asal Meksiko berusia 73 tahun, mengatakan pada surat kabar New York Times, "Orang Latin sangat rendah hati, tapi mereka (Somalia) arogan. Mereka bersikap seolah AS ini punya mereka."

Perbedaan opini muncul mengenai apakah sholat, yang merupakan kewajiban agama untuk dipraktikkan oleh kaum Muslim lima kali sehari itu, membentuk akomodasi yang wajar atau sebuah beban yang tak diinginkan bagi pekerja non-Muslim.

Abdifatah Warsame, seorang pengemas daging dari Somalia, mengatakan bahwa "Para pekerja Latin itu kadang berkata, ‘Tidak usah sholat, tidak usah sholat.’" (rin/mh/abc/wn) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version